PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM
A. PARTAI POLITIK
1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi
Partai
politik mempunyai posisi
(status) dan peranan (role) yang
sangat penting dalam setiap sistem demokrasi.
Partai memainkan peran
penghubung yang sangat strategis
antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan,
banyak yang berpendapat bahwa
partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi,
seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties
created democracy”. Oleh
karena itu, partai politik
merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree
of institutionalization)
dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan,
oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in
terms of the parties”.
Namun demikian,
banyak juga pandangan
kritis dan bahkan skeptis
terhadap partai politik.
Pandangan yang paling serius
di antaranya menyatakan
bahwa partai politik itu
sebenarnya tidak lebih
daripada kendaraan politik bagi
sekelompok elite yang
berkuasa atau berniat memuaskan
“nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai
politik hanyalah berfungsi
sebagai alat bagi segelintir
orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang
mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya
kebijakan-kebijakan publik
tertentu at the
expense of the
general will atau kepentingan umum.
Dalam suatu
negara demokrasi, kedudukan
dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat
saling mengendalikan dalam
hubungan checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara
tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah
wibawanya dalam menjalankan fungsinya
masing-masing, maka yang
sering terjadi adalah partai-partai
politik yang rakus
atau ekstrimlah yang merajalela
menguasai dan mengendalikan
segala proses-proses
penyelenggaraan
fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh
karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem
ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks
and balances dalam
arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya
fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances
berdasarkan konstitusi juga
sangat menentukan kualitas
sistem kepartaian dan mekanisme
demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu
berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan
tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan
bermasyarakat. Tradisi berpikir
atau kebebasan berpikir
itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan
berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.
Tentu
saja, partai politik merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai
wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam
masyarakat demokratis. Di samping
partai politik, bentuk
ekspresi lainnya terjelma
juga dalam wujud
kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui
organisasi-organisasi non-partai
politik seperti lembaga
swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah
(NGO’s), dan lain sebagainya.
Namun,
dalam hubungannya dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik sebagai
media dan wahana tentulah sangat menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain
seperti pers yang bebas dan peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan
sebagainya, peranan partai politik dapat dikatakan sangat menentukan dalam
dinamika kegiatan bernegara. Partai
politik betapapun juga
sangat berperan dalam proses
dinamis perjuangan nilai
dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya
untuk menentukan kebijakan dalam konteks kegiatan bernegara.
Partai politiklah yang
bertindak sebagai perantara dalam
proses-proses pengambilan
keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi
kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam
bukunya, “Political Parties,
A Sociological Study of the Oligarchical
Tendencies of Modern Democracy”,
disebutkan bahwa “... organisasi ... merupakan
satu-satunya sarana ekonomi
atau politik untuk membentuk
kemauan kolektif”.
Kesempatan untuk
berhasil dalam setiap perjuangan kepentingan
sangat banyak tergantung kepada tingkat
kebersamaan dalam organisasi.
Tingkat kebersamaan itu terorganisasikan secara
tertib dan teratur dalam
pelaksanaan perjuangan bersama di antara orang-orang yang
mempunyai kepentingan yang
sama yang menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa berorganisasi itu merupakan
prasyarat mutlak dan hakiki bagi
setiap perjuangan politik (organizational imperative). Dengan
begitu, harus diakui
pula bahwa peranan
organisasi partai politik sangat
penting dalam rangka
dinamika pelembagaan
demokrasi. Dengan adanya
organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam
menghadapi pihak lawan
atau saingan, karena
kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam
satu front.
Proses
pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat
ditentukan oleh pelembagaan
organisasi partai politik sebagai
bagian yang tak
terpisahkan dari sistem demokrasi itu
sendiri. Oleh karena
itu, menurut Yves Meny and Andrew Knapp, “A democratic
system without political parties or with a single party is impossible or
at any
rate hard to
imagine”.142 Suatu sistem
politik dengan hanya 1
(satu) partai politik,
sulit sekali dibayangkan untuk
disebut demokratis, apalagi
jika tanpa partai politik
sama sekali. Derajat
pelembagaan partai politik itu
sendiri dalam sistem
demokrasi, tergantung pada 3 (tiga) parameter, yaitu (i) its age, (ii)
the depersonalization of organization, dan
(iii) organizational differentiation. Setiap organisasi
yang normal tumbuh
dan berkembang alamiah
menurut tahapan waktunya
sendiri. Oleh karena itu,
makin tua usianya,
ide-ide dan nilai-nilai
yang dianut di
dalam organisasi tersebut
semakin terlembagakan (institutionalized) menjadi tradisi dalam organisasi. Organisasi
yang berkembang dan semakin melembaga cenderung pula mengalami proses
depersonalisasi. Orang dalam maupun orang luar sama-sama menyadari dan memperlakukan
organisasi yang bersangkutan sebagai institusi, dan tidak
dicampuradukkannya dengan persoalan
personal atau pribadi
para individu yang kebetulan menjadi
pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya
sudah sangat tua,
tetapi tidak terbangun
suatu tradisi di
mana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama
sekali terpisah dan
dipisahkan dari urusan keorganisasian. Dalam
hal demikian, berarti derajat pelembagaan
organisasi tersebut sebagai institusi, masih
belum kuat, atau
lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai organisasi yang
kuat.
Jika hal
ini dihubungkan dengan
kenyataan yang terjadi di
Indonesia, banyak sekali
organisasi kemasyarakatan yang
kepengurusannya masih sangat personalized.
Organisasi-organisasi besar di
bidang keagamaan, seperti
Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain dengan derajat yang berbeda-beda,
masih menunjukkan gejala
personalisasi yang kuat
atau malah sangat
kuat. Organisasi-organisasi
di bidang sosial,
kesehatan, kepemudaan, dan bahkan
bidang pendidikan, banyak sekali yang masih personalized, meskipun derajatnya
berbedabeda. Bahkan, saking
bersifat personalized-nya organisasi
yang dimaksud, banyak
pula di antaranya
yang segera bubar tidak
lama setelah ketuanya
meninggal dunia.
Gejala “personalisasi” juga
terlihat tatkala suatu organisasi mengalami
kesulitan dalam melakukan suksesi atau
pergantian kepemimpinan. Dikatakan
oleh Monica dan Jean Charlot:
“Until
a party (or any association) has surmounted the crisis of finding a successor
to its founder, until it has drawn up rules of succession that are legitimate
in the eyes of its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”.
Selama
suatu organisasi belum
dapat mengatasi krisis dalam
pergantian kepemimpinannya, dan
belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang dapat diakui dan dipercaya
oleh anggotanya, maka selama itu
pula pelembagaan organisasi tersebut masih bermasalah dan belum dapat
dikatakan kuat. Apalagi jika pergantian itu berkenaan dengan
pemimpin yang merupakan
pendiri yang berjasa bagi
organisasi bersangkutan, seringkali timbul kesulitan untuk melakukan
pergantian yang tertib dan damai. Namun, derajat pelembagaan organisasi yang
bersangkutan tergantung kepada
bagaimana persoalan
pergantian itu dapat
dilakukan secara impersonal
dan depersoanlized.
Jika kita
menggunakan parameter “personalisasi” ini untuk menilai organisasi
kemasyarakatan dan partai-partai politik di tanah air dewasa ini, tentu banyak
sekali organisasi yang dengan derajat yang berbeda-beda dapat dikatakan belum
semuanya melembaga secara depersonalized. Perhatikanlah
bagaimana pelembagaan dari partai-partai
seperti Partai Golongan
Karya (GOLKAR), Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Bulan Bintang (PBB), dan sebagainya. Ada yang diiringi oleh perpecahan, ada
pula yang belum sama sekali berhasil mengadakan forum Kongres, MusyawarahNasional,
atau Muktamar.
Di samping
kedua parameter di
atas, derajat pelembagaan organisasi
juga dapat dilihat
dari segi organizational
differentiation. Dalam hal ini, yang perlu dilihat adalah seberapa jauh
organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik yang bersangkutan berhasil
mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan konstituennya. Dalam
sistem demokrasi dengan banyak
partai politik, aneka ragam aspirasi dan
kepentingan politik yang
saling berkompetisi dalam masyarakat memerlukan
penyalurannya yang tepat melalui
pelembagaan partai politik.
Semakin besar dukungan yang
dapat dimobilisasikan oleh
dan disalurkan aspirasinya melalui
suatu partai politik, semakin besar
pula potensi partai
politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara
tepat.
Untuk menjamin
kemampuannya memobilisasi
dan menyalurkan aspirasi
konstituen itu, struktur organisasi partai
politik yang bersangkutan
haruslah disusun sedemikian rupa,
sehingga ragam kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung
dan diakomodasikan seluas mungkin. Oleh karena itu, struktur internal partai
politik penting untuk disusun secara tepat. Di satu pihak, ia harus
sesuai dengan kebutuhan
untuk mobilisasi dukungan dan
penyaluran aspirasi konstituen. Di pihak lain,
struktur organisasi partai
politik juga harus
disesuaikan dengan format
organisasi pemerintahan yang diidealkan menurut
visi partai politik
yang dimintakan kepada konstituen
untuk memberikan dukungan mereka. Semakin
cocok struktur internal
organisasi partai itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula
derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan.
2. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa
menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai
politik itu menurut Miriam Budiardjo,
meliputi sarana:146 (i)
komunikasi politik, (ii)
sosialisasi politik
(political socialization), (iii)
rekruitmen politik
(political recruitment), dan
(iv) pengatur konflik (conflict management).
Dalam istilah Yves
Meny dan Andrew Knapp, fungsi
partai politik itu mencakup fungsi (i)
mobilisasi dan integrasi;
(ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap
perilaku memilih (voting
patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan
kebijakan.
Keempat fungsi
tersebut sama-sama terkait
satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai
berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests
articulation) atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang yang
tersembunyi dalam masyarakat.
Berbagai kepentingan itu diserap
sebaik-baiknya oleh partai
politik menjadi ide-ide,
visi, dan kebijakan-kebijakan partai
politik yang bersangkutan. Setelah
itu, ide-ide dan
kebijakan atau aspirasi kebijakan
itu diadvokasikan sehingga
dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan
kenegaraan yang resmi.
Terkait
dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan
penting dalam melakukan
sosialisasi politik
(political socialization). Ide,
visi, dan kebijakan strategis yang
menjadi pilihan partai
politik dimasyarakatkan kepada
konstituen untuk mendapatkan feedback berupa
dukungan dari masyarakat
luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga
berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi
struktur-antara atau intermediate
structure yang harus memainkan peran
dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif
masyarakat warga negara.
Misalnya,
dalam rangka keperluan untuk memasyarakatkan
kesadaran negara berkonstitusi, partai
dapat memainkan peran yang
penting. Tentu, pentingnya peran partai
politik dalam hal
ini, tidak boleh
diartikan bahwa hanya partai
politik saja yang
mempunyai tanggung jawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan,
dan bahkan para
pemimpin politik yang duduk di
dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif,
mempunyai tanggung jawab yang sama
untuk itu. Namun,
yang hendak ditekankan di
sini adalah bahwa
peranan partai politik dalam
rangka pendidikan politik
dan sosialisasi politik itu sangatlah besar.
Fungsi
ketiga
partai politik adalah
sarana rekruitmen politik (political
recruitment). Partai
dibentuk memang dimaksudkan
untuk menjadi kendaraan yang
sah untuk menyeleksi
kader-kader pemimpin negara
pada jenjang-jenjang dan
posisi-posisi tertentu.
Kader-kader itu ada
yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang
dipilih melalui cara yang tidak langsung,
seperti oleh Dewan
PerwakilanRakyat, ataupun melalui
cara-cara yang tidak
langsung lainnya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh
peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional
di bidang-bidang kepegawainegerian dan lain-lain yang tidak
bersifat politik (political
appointment), tidak boleh
melibatkan peran partai politik.
Partai hanya boleh
terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang
bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan
pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment). Untuk menghindarkan
terjadinya pencampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara
jabatan-jabatan yang bersifat
politik itu dengan
jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan
profesional. Di lingkungan kementerian, hanya
ada satu jabatan
saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan,
para pembantu Menteri di lingkungan
instansi yang dipimpinnya
adalah pegawai negeri sipil
yang tunduk kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan dibedakan
antara jabatan negara
dan jabatan pegawai negeri. Pejabat yang menduduki jabatan negara disebut
sebagai pejabat negara.
Seharusnya, supaya
sederhana, yang menduduki
jabatan pegawai negeri disebut
pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya
pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan
struktural dan jabatan fungsional.
Jenjang jabatan itu
masingmasing telah ditentukan dengan sangat jelas hierarkinya dalam rangka
penjenjangan karir. Misalnya,
jenjang jabatan struktural tersusun
mulai dari eselon
5, 4, 3, 2,
sampai ke eselon
1. Untuk jabatan
fungsional, jenjang jabatannya ditentukan
berdasarkan sifat pekerjaan
di masing-masing unit kerja.
Misalnya, untuk dosen
di perguruan tinggi yang
paling tinggi adalah
guru besar. Jenjang di
bawahnya adalah guru
besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor,
lektor madya, lektor muda, asisten ahli,
asisten ahli madya,
dan asisten. Di bidang-bidang lain,
baik jenjang maupun
nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.
Untuk pengisian
jabatan atau rekruitmen
pejabat negara/kenegaraan, baik langsung
ataupun tidak langsung,
partai politik dapat
berperan. Dalam hal
inilah, fungsi partai politik
dalam rangka rekruitmen
politik (political
recruitment) dianggap penting.
Sedangkan, untuk pengisian jabatan
negeri seperti tersebut
di atas, partai sudah
seharusnya dilarang untuk
terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat
adalah pengatur dan
pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management).
Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests)
yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat sangat beraneka
ragam, rumit, dan cenderung
saling bersaing dan
bertabrakan satu sama lain.
Jika partai politiknya
banyak, berbagai kepentingan yang
beraneka ragam itu
dapat disalurkan melalui
polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program,
dan alternatif kebijakan
yang berbeda-beda satu sama
lain. Dengan perkataan
lain, sebagai pengatur
atau pengelola konflik
(conflict management), partai
berperan sebagai sarana agregasi
kepentingan (aggregation of interests)
yang menyalurkan ragam
kepentingan yang berbeda-beda itu
melalui saluran kelembagaan
politik partai. Oleh karena
itu, dalam kategori
Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik
dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi
partai politik. Partai
mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara
menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi
kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.
3. Kelemahan Partai Politik
Adanya
organisasi itu, tentu
dapat dikatakan juga mengandung beberapa
kelemahan. Di antaranya
ialah bahwa organisasi cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan
termasuk juga organisasi
partai politik, kadangkadang bertindak dengan lantang untuk
dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru
berjuang untuk kepentingan
pengurusnya sendiri. Seperti dikemukakan
oleh Robert Michels sebagai suatu hukum besi yang berlaku
dalam organisasi bahwa:
“Organisasilah
yang melahirkan dominasi si terpilih atas para
pemilihnya, antara si
mandataris dengan si pemberi
mandat dan antara
si penerima kekuasaan dengan sang pemberi. Siapa saja
yang berbicara tentang organisasi,
maka sebenarnya ia
berbicara tentangoligarki”.
Untuk mengatasi
berbagai potensi buruk
partai politik seperti dikemukakan di atas, diperlukan beberapa
mekanisme penunjang. Pertama,
mekanisme internal yang menjamin
demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu
sendiri dalam proses pengambilan
keputusan. Pengaturan mengenai
hal ini sangat penting dirumuskan
secara tertulis dalam
anggaran dasar (constitution of
the party) dan
anggaran rumah tangga partai
politik bersangkutan yang
ditradisikan dalam rangka rule of law. Di samping
anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, sesuai
tuntutan perkembangan, perlu diperkenalkan
pula sistem kode
etika positif yang
dituangkan sebagai Code of
Ethics yang dijamin
tegaknya melalui dewan kehormatan
yang efektif. Dengan begitu, di dalam dinamika
internal organisasi partai,
berlaku tiga dokumen sekaligus,
yaitu Code of
Law yang tertuang dalam anggaran
dasar (constitution of the
political party), Code of
Conduct (code of
organizational good conducts)
yang tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan Code of Ethics dalam dokumen
yang tersendiri.
Dengan demikian,
norma hukum, norma
moral, dan norma etika
diharapkan dapat berfungsi
efektif membangun kultur internal setiap partai politik. Aturanaturan yang
dituangkan di atas
kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktik,
sehingga prinsip rule of law, dan
rule of ethics
dapat sungguh-sungguh diwujudkan mulai dari kalangan internal
partai-partai politik sebagai sumber
kader kepemimpinan negara.
Di dalam ketiga kode normatif tersebut tersedia
berbagai prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan anggota, pengaturan
mengenai lembaga-lembaga internal,
mekanisme hubungan lembaga-lembaga, serta
mekanisme penyelesaian
konflik yang elegan
dan dapat dijadikan
pegangan bersama. Dengan
begitu, setiap perbedaan
pendapat dapat disalurkan secara
baik dan konflik
dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan yang
tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict).
Kedua, mekanisme
keterbukaan partai di
mana warga masyarakat
di luar partai
dapat ikut serta
berpartisipasi dalam penentuan
kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui
dan oleh partai
politik. Partai politik harus
dijadikan dan menjadi
sarana perjuangan rakyat dalam
turut menentukan bekerjanya
sistem kenegaraan sesuai aspirasi
mereka. Oleh karena
itu, pengurus hendaklah berfungsi
sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya.
Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma dalam cara memahami
partai dan kegiatan
berpartai. Menjadi pengurus bukanlah
segala-galanya. Namun yang
lebih penting adalah menjadi
wakil rakyat. Akan
tetapi, jika yang menjadi
faktor sebagai penentu
adalah terpilih tidaknya seseorang
menjadi wakil rakyat,
maka setiap orang tentu akan
berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan
untuk menjadi pimpinan
puncak partai politik. Akibatnya, menjadi
pengurus dianggap keharusan
dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat. Dua-duanyadirangkap
sekaligus, dan untuk seterusnya partai politik hanya akan
berfungsi sebagai kendaraan
bagi individu para pengurusnya
untuk terus mempertahankan posisi sebagai wakil rakyat atau untuk
meraih jabatan-jabatan publik lainnya.
Kepengurusan partai
politik di masa
depan memang sebaiknya diarahkan untuk
menjadi pengelola yang
profesional yang terpisah dan dipisahkan dari para calon wakil
rakyat. Mungkin ada
baiknya untuk dipikirkan bahwa
kepengurusan partai politik
dibagi ke dalam 3
(tiga) komponen, yaitu
(i) komponen kader wakil rakyat, (ii) komponen kader
pejabat eksekutif, dan (iii)
komponen pengelola profesional.
Ketiganya diatur dalam struktur
yang terpisah, dan
tidak boleh ada rangkap
jabatan dan pilihan jalur. Pola rekruitmen dan promosi diharuskan
mengikuti jalur yang
sudah ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut. Jika
seseorang berminat menjadi
anggota DPRD atau DPR, maka ia diberi kesempatan sejak awal untuk
menjadi anggota Dewan
Perwakilan Partai atau
yang dapat disebut dengan
nama lain, yang
disediakan tersendiri strukturnya dalam
kepengurusan Partai.
Sedangkan kader yang
berminat duduk di
lembaga eksekutif tidak duduk
di Dewan Perwakilan,
melainkan duduk dalam Dewan Kabinet
atau yang disebut dengan nama
lain. Di luar
kedua struktur itu,
adalah struktur kepengurusan biasa
yang dijabat oleh
para profesional yang digaji
oleh partai dan
tidak dimaksudkan untuk direkrut menjadi
wakil rakyat ataupun
untuk dipromosikan menduduki
jabatan di lingkungan
pemerintahan. Ketiga kelompok
pengurus tersebut hendaknya
jangan dicampur aduk atau terlalu
mudah berpindahpindah posisi dan
jalur. Kalaupun ada orang yang ingin pindah
jalur karena alasan
yang rasional, maka
hal itudapat saja
dimungkinkan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, sehingga
tidak justru menjadi
stimulus bagi kaum oportunis
yang akan merusak
rasionalitas kultur demokrasi dan rule of law di dalam partai. Untuk
mendorong agar mekanisme
kepengurusan dan pengelolaan partai
menjadi makin baik,
pengaturannya perlu
dituangkan dalam undang-undang
dan peraturan
perundang-undangan lainya. Hal
itu tidak cukup
hanya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai
yang bersangkutan. Mekanisme
pertama dan kedua tersebut di
atas, berkaitan dengan aspek internal organisasi partai politik.
Di samping
itu, diperlukan pula
dukungan iklim eksternal yang
tercermin dalam, yaitu:
Ketiga, penyelenggaraan negara yang
baik dengan makin meningkatnya kualitas
pelayanan publik (public services), serta keterbukaan dan
akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan
penyelenggaraan negara.
Dengan adanya pelayanan
umum yang baik
disertai keterbukaan dan akuntabilitas
pemerintahan dan
penyelenggara negara lainnya,
iklim politik dengan sendirinya akan
tumbuh sehat dan
juga akan menjadi lahan subur bagi partai politik untuk
berkembang secara sehat pula. Keempat,
berkembangnya pers bebas yang semakin profesional dan
mendidik. Media pers
adalah saluran komunikasi massa
yang menjangkau sasaran yang sangat luas. Peranannya dalam demokrasi sangat
menentukan. Oleh sebab itu, pers dianggap sebagai the fourth estate of
democracy, atau untuk melengkapi istilah trias politica dari Montesquieu,
disebut juga dengan
istilah quadru politica. Kelima,
kuatnya jaminan kebebasan
berpikir (freedom of thought),
dan berekspresi (freedom
of expression), serta kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi secara
damai (freedom of
peaceful assembly and association).
Pada intinya kebebasan
dalam peri kehidupan bersama
umat manusia itu
adalah bermula dari kebebasan
berpikir (freedom of
thought).
kebebasan berpikir
itulah selanjutnya berkembang prinsip-prinsip freedom of belief,
freedom of expression, freedom of assembly, freedom of association, feedom of
the press, dan
sebagainya. Oleh sebab
itu, iklim atau kondisi
yang sangat diperlukan
bagi dinamika pertumbuhan dan perkembangan partai politik
di suatu negara, adalah iklim kebebasan
berpikir. Artinya, partai
politik yang baik memerlukan lahan sosial untuk tumbuh, yaitu
adanya kemerdekaan berpikir
di antara sesama
warga negara yang akan menyalurkan
aspirasi politiknya melalui salah
satu saluran yang
utama, yaitu partai politik.
Dalam sistem
representative democracy, biasa dimengerti bahwa
partisipasi rakyat yang
berdaulat terutama disalurkan melalui
pemungutan suara rakyat untuk
membentuk lembaga perwakilan.
Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk
maksud menjamin keterwakilan
aspirasi atau kepentingan
rakyat. Oleh karena
itu, dalam sistem
perwakilan, kedudukan dan peranan
partai politik dianggap
sangat dominan.
B. PEMILU DAN KEDAULATAN RAKYAT
1.
Pemilu Berkala
Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan
Har-maily Ibrahim, dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah
yang dianggap sebagai
pemilik dan pemegang kekuasaan
tertinggi dalam suatu
negara.Rakyatlah yang menentukan
corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah
yang menentukan tujuan
yang hendak dicapai
oleh negara dan pemerintahannya itu.
Dalam praktik, sering
dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya sedikit dan ukuran
wilayahnya tidak begitu luas saja pun, kedaulatan rakyat itu tidak dapat
berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara
yang jumlah penduduknya
banyak dan dengan wilayah yang
sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin
untuk menghimpun pendapat
rakyat seorang demi seorang dalam
menentukan jalannya suatu pemerintahan. Lagi
pula, dalam masyarakat
modern seperti sekarang ini,
tingkat kehidupan berkembang
sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat kecerdasan warga yang tidak
merata dan dengan tingkat spesialisasi antar sektor pekerjaan
yang cenderung berkembang
semakin tajam. Akibatnya, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara
murni. Kompleksitas keadaan
menghendaki bahwa kedaulatan
rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistim perwakilan
(representation).
Dalam
kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut
sistem demokrasi perwakilan
(representative democracy) atau
demokrasi tidak langsung (indirect
democracy). Di dalam
praktik, yang menjalankan kedaulatan
rakyat itu adalah
wakilwakil rakyat yang
duduk di lembaga
perwakilan rakyat yang disebut
parlemen. Para wakil
rakyat itu bertindak atas nama
rakyat, dan wakil-wakil
rakyat itulah yang menentukan corak
dan cara bekerjanya
pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka
panjang maupun dalam
jangka waktu yang
relatif pendek. Agar wakil-wakil
rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka
wakil-wakil rakyat itu harus
ditentukan sendiri oleh
rakyat, yaitu melalui pemilihan umum
(general election). Dengan
demikian, pemilihan umum itu
tidak lain merupakan
cara yang diselenggarakan untuk
memilih wakil-wakil rakyat secara
demokratis. Oleh karena
itu, bagi negara-negara yang menyebut diri sebagai
negara demokrasi, pemilihan umum
(general election) merupakan
ciri penting yang harus
dilaksanakan secara berkala
dalam waktu-waktu yang tertentu.
Peserta
pemilihan umum itu dapat bersifat kelembagaan
atau perorangan calon
wakil rakyat. Peserta pemilihan umum
merupakan perorangan apabila
yang dicalonkan adalah bersifat
pribadi.154 Akan tetapi, meskipun calon
itu bersifat pribadi,
biasanya mesin politik untuk
mendukung pencalonan dan
kegiatan kampanye tetap diperlukan
yang bersifat kelembagaan. Kelembagaan yang
dimaksud itulah yang
biasanya disebut partai politik,
yaitu organisasi yang
secara sengaja dibentuk untuk
tujuan-tujuan yang bersifat politik, seperti untuk kepentingan
rekruitmen politik dan komunikasi
politik, dan sebagainya.
Oleh karena itu, partai
politik terkait erat
dengan kegiatan pemilihan umum. Bahkan, dapat dikatakan
partai politik itu merupakan pilar yang
penting dalam sistim
demokrasi perwakilan yang secara
periodik menyelenggarakan
kegiatan pemilihan umum. Pentingnya
pemilihan umum diselenggarakan secara berkala
dikarenakan oleh beberapa
sebab. Pertama, pendapat atau
aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek
kehidupan bersama dalam
masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam jangka
waktu tertentu, dapat
saja terjadi bahwa sebagian besar
rakyat berubah pendapatnya
mengenai sesuatu kebijakan negara.
Kedua, di samping
pendapat rakyat dapat berubah
dari waktu ke
waktu, kondisi kehidupan bersama
dalam masyarakat dapat
pula berubah, baik karena
dinamika dunia internasional ataupun karena faktor dalam
negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor
eksternal manusia. Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi
dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan
jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka
itu, terutama para
pemilih baru (new
voters) atau pemilih pemula,
belum tentu mempunyai
sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Lagi pula, keempat,
pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud
menjamin terjadinya pergantian
kepemimpinan negara, baik
di cabang kekuasaan
eksekutif maupun legislatif.
Untuk menjamin
siklus kekuasaan yang
bersifat teratur itu diperlukan mekanisme pemilihan umum yang
diselenggarakan secara berkala,
sehingga demokrasi dapat terjamin,
dan pemerintahan yang
sungguh-sungguh mengabdi kepada
kepentingan seluruh rakyat dapat
benar-benar bekerja efektif
dan efisien. Dengan adanya
jaminan sistem demokrasi
yang beraturan demikian itulah
kesejahteraan dan keadilan
dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Di samping itu, untuk memberi
kesempatan kepada rakyat, baik mereka yang sudah pernah memilih maupun para
pemilih pemula itu untuk turut menentukan kebijakan kenegaraan
dan pemerintahan, maka
pemilihan umum (general election)
itu harus dilaksanakan
secara berkala atau periodik
dalam waktu-waktu tertentu. Untuk itu, ada negara yang
menentukan bahwa pemilihan umum dilaksanakan sekali dalam lima
tahun seperti Republik Indonesia, dan ada pula negara seperti Amerika Serikat
yang menentukan pemilihan
Presiden dan Wakil Presidennya
dalam jangka waktu
empat tahun sekali. Selain
itu, negara-negara yang
menganut sistim pemerintahan parlementer,
pemilihan umum itu
dapat pula diselenggarakan lebih
kerap lagi sesuai
dengan kebutuhan.
Kegiatan pemilihan
umum (general election)
juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang
sangat prinsipil. Oleh
karena itu, dalam rangka
pelaksanaan hak-hak asasi
warga negara adalah keharusan bagi
pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan
pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang
telah ditentukan. Sesuai dengan
prinsip kedaulatan rakyat
di mana rakyatlah yang berdaulat,
maka semua aspek penyelenggaraan
pemilihan umum itu
sendiri pun harus
juga dikembalikan kepada rakyat
untuk menentukannya. Adalah pelanggaran
terhadap hak-hak asasi
apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat
penyelenggaraan pemilihan
umum tanpa persetujuan
para wakil rakyat,
ataupun tidak melakukan apa-apa
sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana
mestinya.
Dalam
sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan merupakan faktor
yang sangat penting. Di satu
pihak, suatu pemerintahan
haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi,
sehingga dapat dikatakan
memiliki legalitas. Di
lain pihak, pemerintahan itu
juga harus legitimate,
dalam arti bahwa di
samping legal, ia
juga harus dipercaya. Tentu akan
timbul keragu-raguan, apabila
suatu pemerintah menyatakan diri
sebagai berasal dari rakyat,
sehingga
dapat disebut sebagai pemerintahan demokrasi, padahal pembentukannya tidak didasarkan
hasil pemilihan umum. Artinya,
setiap pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat,
memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting
atau pilar yang
pokok dalam sistem demokrasi modern. Sejalan dengan
hal tersebut, International
Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965
memberikan definisi tentang
suatu pemerintahan dengan perwakilan
atau representative government
sebagai '''a government deriving its power and
authority are exercised
through representative freely chosen
and responsible to
them". Kemudian, untuk
adanya suatu ”Representative government under the Rule of Law”, konferensi itu
menetapkan salah satu syarat adanya pemilihan
yang bebas. Oleh
karena itulah, maka dapat
dikatakan bahwa pemilihan
umum merupakan syarat yang
mutlak bagi negara
demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Di samping
pemilihan umum, metode
penyaluran pendapat umum rakyat
juga dapat dilakukan
dengan referendum dan plebisit.
Namun yang dikenal
di Indonesia hanya referendum. Misalnya, untuk mengatasi jangan sampai
UUD 1945 diubah dengan mudah, Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah menetapkan
Ketetapan MPR tentang Referendum,
yaitu TAP MPR
Nomor IV/MPR/1983.157 Meskipun kemudian dengan Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/1998, Ketetapan Nomor IV/MPR/1983 ini dicabut kembali, tetapi
menarik untuk dicatat bahwa lembaga
referendum itu pernah
dikenal dalam sistim ketatanegaraan Indonesia, meskipun hal itu belum
pernah dipraktikkan. Pasal 2 Ketetapan
MPR No. IV/MPR/1983
itu menentukan, ”Apabila MPR
berkehendak untuk merubah UUD
1945, terlebih dahulu
harus meminta pendapat rakyat
melalui referendum”.158 Pasal 3 menentukan,
”Referendum dilaksanakan oleh
Presiden/Mandataris MPR yang
diatur dengan undang-undang”. Sedangkan
dalam Pasal 4
Ketetapan ini dinyatakan, ”Dengan
ditetapkannya Ketetapan tentang Referendum
ini, maka ketentuan
Undang-Undang mengenai
pengangkatan 1/3 anggota
Majelis ditinjau kembali”. Dari
kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa ketentuan operasional
mengenai penyelenggaraan
referendum itu sendiri
masih harus dielaborasi
dalam undang-undang. Akan tetapi,
secara umum dapat
diketahui bahwa tujuan
referendum itu adalah
untuk meminta pendapat rakyat apakah rakyat menyetujui atau tidak
menyetujui kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.
Dengan demikian,
penyelenggaraan referendum
tersebut harus dilakukan mendahului pelaksanaan upaya oleh MPR
dalam mewujudkan kehendaknya
untuk mengubah UUD 1945
itu. Artinya, sebelum
usul perubahan UUD 1945 itu diajukan sesuai dengan ketentuan UUD
1945, maka kehendak
atau rencana untuk mengajukan usul
perubahan itu haruslah
terlebih dulu diajukan kepada
rakyat melalui referendum
untuk dimintakan pendapat apakah
rakyat setuju atau
tidak. Jikalau mayoritas rakyat
memang menyatakan setuju, barulah usul
perubahan UUD 1945
itu diajukan sesuai dengan
ketentuan UUD 1945
mengenai mekanisme perubahan UUD.
2. Tujuan Pemilihan Umum
Dari uraian di atas, dapat dikatakan
bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan
umum itu ada
4 (empat), yaitu:
a. untuk memungkinkan
terjadinya peralihan
kepemimpinan pemerintahan secara
tertib dan damai;
b. untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang
akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan;
c. untuk
melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d. untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Seperti
dimaklumi, kemampuan seseorang bersifat terbatas. Di samping itu, jabatan pada
dasarnya merupakan amanah yang
berisi beban tanggung
jawab, bukan hak yang
harus dinikmati. Oleh
karena itu, seseorang tidak boleh duduk di suatu jabatan
tanpa ada kepastian batasnya untuk dilakukannya
pergantian. Tanpa siklus kekuasaan yang dinamis, kekuasaan itu
dapat mengeras menjadi sumber malapetaka.
Sebab, dalam setiap jabatan, dalam
dirinya selalu ada
kekuasaan yang cenderung berkembang
menjadi sumber kesewenangwenangan bagi siapa saja yang
memegangnya. Untuk itupergantian
kepemimpinan harus dipandang
sebagai sesuatu yang niscaya
untuk memelihara amanah
yang terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri. Dalam Pemilu, yang dipilih tidak saja wakil
rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi
juga para pemimpin
pemerintahan yang duduk di kursi
eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para
wakil rakyat itu
ada yang duduk
di Dewan Perwakilan Rakyat,
ada yang duduk
di Dewan Perwakilan Daerah,
dan ada pula
yang akan duduk
di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, baik di
tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan di
cabang kekuasaan pemerintahan
eksekutif, para pemimpin yang
dipilih secara langsung oleh rakyat adalah
Presiden dan Wakil
Presiden, Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota danWakil Walikota.
Dengan adanya pemilihan
umum yang teratur dan
berkala, maka pergantian
para pejabat dimaksud
juga dapat terselenggara
secara teratur dan berkala.
Oleh
karena itu adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik
di lembaga pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Pergantian
pejabat di negara-negara otoritarian dan totaliter berbeda dengan yang
dipraktikkan di negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter dan
otoritarian, pergantian pejabat ditentukan oleh sekelompok orang saja. Kelompok
orang yang menentukan itu bersifat oligarkis dan berpuncak di tangan satu
orang. Sementara di lingkungan
negara-negara yang menganut
paham demokrasi, praktik yang
demikian itu tidak dapat diterapkan.
Di negara-negara
demokrasi, pergantian pejabat pemerintahan eksekutif
dan legislatif ditentukan
secara langsung oleh rakyat,
yaitu melalui pemilihan
umum (general election) yang diselenggarakan secara periodik. Maka pemilihan
umum (general election)
juga disebut bertujuan untuk
memungkinkan terjadinya
peralihan pemerintahan dan
pergantian pejabat negara yang
diangkat melalui pemilihan
(elected public officials). Dalam
hal tersebut di
atas, yang dimaksud dengan memungkinkan di sini tidak
berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum, secara mutlak harus
berakibat terjadinya pergantian
pemerintahan atau pejabat negara.
Mungkin saja terjadi,
pemerintahan suatu partai politik
dalam sistem parlementer
memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang
menjadi Presiden seperti
di Amerika Serikat
atau Indonesia dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud
”memungkinkan” di sini adalah bahwa pemilihan umum itu harus
membuka kesempatan sama
untuk menang atau kalah
bagi setiap peserta
pemilihan umum itu. Pemilihan umum yang demikian itu hanya
dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil).
Tujuan ketiga
dan keempat pemilihan
umum itu adalah juga untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat dan melaksanakan
hak asasi warga
negara. Untuk menentukan jalannya
negara, rakyat sendirilah
yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang
akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan
jalannya pemerintahan dan
fungsi-fungsi negara dengan
benar menurut UUD adalah hak rakyat yang sangat
fundamental. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pemilihan umum,
di samping merupakan perwujudan
kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana
pelaksanaan hak-hak asasi
warga negara sendiri. Untuk
itulah, diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat
itu secara periodik. Demikian pula di bidang eksekutif, rakyat sendirilah
yang harus memilih
Presiden, Gubernur, Bupati,
dan Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan, baik di tingkat
pusat, di tingkat
provinsi, maupun di
tingkat kabupaten/kota.
Di samping
itu, pemilihan umum
itu juga penting bagi
para wakil rakyat
sendiri ataupun para
pejabat pemerintahan untuk mengukur
tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat kepadanya.
Demikian pula bagi kelompok warga negara
yang tergabung dalam
suatu organisasi partai politik,
pemilihan umum itu
juga penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan dan
kepercayaan rakyat kepada
kelompok atau partai politik
yang bersangkutan. Melalui
analisis mengenai tingkat kepercayaan
dan dukungan itu, tergambar pula
mengenai aspirasi rakyat
yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi
dalam negara Republik Indonesia.
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa
pemilihan umum itu
tidak saja penting
bagi warga negara, partai politik,
tapi juga pejabat
penyelenggara negara. Bagi penyelenggara
negara yang diangkat
melalui pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu mendapat
dukungan yang sebenarnya
dari rakyat. Sebaliknya, jika
pemerintahan tersebut dibentuk
dari hasil pemilihan umum yang tidak jujur maka dukungan rakyat itu
hanya bersifat semu.
C. SISTEM PEMILIHAN UMUM
1. Sistem Pemilu Mekanis dan Organis
Oleh
karena pemilihan umum
adalah salah satu cara
untuk menentukan wakil-wakil
rakyat yang akan duduk
dalam Badan Perwakilan
Rakyat, maka dengan sendirinya terdapat
berbagai sistem pemilihan
umum. Sistem pemilihan umum berbeda satu
sama lain, tergantung
dari sudut mana
hal itu dilihat.
Dari sudut kepentingan rakyat,
apakah rakyat dipandang
sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan
sekaligus mencalonkan dirinya
sebagai calon wakil rakyat,
atau apakah rakyat
hanya dipandang sebagai anggota kelompok
yang sama sekali
tidak berhakmenentukan siapa
yang akan menjadi
wakilnya di lembaga perwakilan
rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua
macam, yaitu antara (i) sistem
pemilihan mekanis, dan
(ii) sistem pemilihan organis. Sistem
pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang
bersifat mekanis yang
melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Baik
aliran liberalisme, sosialisme, dan
komunisme sama-sama mendasarkan
diri pada pandangan mekanis.
Liberalisme lebih
mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom
dan memandang masyarakat
sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar
individu yang bersifat kontraktual,
sedangkan pandangan sosialisme
dan khususnya komunisme,
lebih mengutamakan totalitas
kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan
individu. Namun, dalam
semua aliran pemikiran
di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat
aktif dan memandang
korps pemilih sebagai massa
individu-individu, yang masing-masing memiliki satu
suara dalam setiap
pemilihan, yaitu suaranya masing-masing
secara sendiri-sendiri.
Sementara itu,
dalam sistem pemilihan
yang bersifat organis, pandangan
organis menempatkan rakyat sebagai
sejumlah individu-individu yang
hidup bersama dalam berbagai
macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga,
keluarga), fungsi tertentu
(ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan
lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat
dilihat sebagai suatu
organisme yang terdiri
atas organorgan yang
mempunyai kedudukan dan
fungsi tertentu dalam totalitas
organisme, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup.
Dengan pandangan demikian,
persekutuan-persekutuan
hidup itulah yang
diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan
lain,
persekutuan-persekutuan itulah
yang mempunyai hak
pilih untuk mengutus
wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan masyarakat. Apabila
dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas,
pemilihan organis ini dapat dihubungkan
dengan sistem perwakilan
fungsional (function
representation) yang biasa
dikenal dalam sistem parlemen
dua kamar, seperti
di Inggris dan Irlandia. Pemilihan anggota Senat
Irlandia dan juga para Lords yang akan
duduk di House
of Lords Inggris, didasarkan atas
pandangan yang bersifat
organis tersebut. Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai
politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin
pemilih berdasarkan sistem
dua-partai atau pun multi-partai
menurut paham liberalisme dan sosialisme,
ataupun berdasarkan sistem
satu-partai menurut paham
komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai
politik tidak perlu
dikembangkan, karena
pemilihan diselenggarakan dan
dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan
hidup itu sendiri,
yaitu melalui mekanisme yang
berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Menurut sistem
mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan
lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat
seluruhnya. Sedangkan, menurut
sistem yang kedua (organis),
lembaga perwakilan rakyat
itu mencerminkan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup
itu masing-masing. Dalam
bentuknya yang paling
ekstrim, sistem yang pertama
(mekanis) menghasilkan parlemen,
sedangkan yang kedua (organis) menghasilkan dewan korporasi (korporatif).
Kedua sistem ini
sering dikombinasikan dalam
struktur parlemen dua-kamar
(bikameral), yaitu di
negara-negara yang mengenal
sistem parlemen bikameral.
Seperti
yang sudah dikemukakan di atas, misalnya, parlemen Inggris
dan Irlandia yang
bersifat bikameral
mencerminkan hal itu,
yaitu pada sifat
perwakilan majelis tingginya. Di Inggris hal itu terlihat pada House
of Lords, dan
di Irlandia pada
Senatnya yang para anggotanya semua
dipilih tidak melalui
sistem yang mekanis, tetapi
dengan sistem organis.
2.
Sistem Distrik dan Proporsional
Sistem yang lebih umum, dan karena itu perlu
diuraikan lebih rinci, adalah sistem pemilihan yang bersifat mekanis. Sistem
ini biasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
1) Perwakilan distrik/mayoritas (single
member constituencies); dan
2) Sistem perwakilan
berimbang (proportional representation).
Sistem yang
pertama, yaitu sistem
distrik, biasa dinamakan juga
sebagai sistem single
member constituencies162 atau
sistem the winner’s take-all. Dinamakan
demikian, karena wilayah
negara dibagi dalam
distrikdistrik pemilihan atau
daerah-daerah pemilihan (dapil) yang
jumlahnya sama dengan
jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat
yang diperlukan untuk
dipilih. Misalnya, jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, ditentukan 500
orang, maka wilayah
negara dibagi dalam 500
distrik atau daerah
pemilihan (dapil) atau constituencies. Artinya,
setiap distrik atau
daerah pemilihan akan diwakili
oleh hanya satu
orang wakil yang akan duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu
dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.
Sebagian sarjana
juga menamakan sistem
ini sebagai sistem mayoritas,
karena yang dipilih
sebagai wakil rakyat dari
suatu daerah ditentukan
oleh siapa yang memperoleh
suara yang terbanyak
atau suara mayoritas untuk
daerah itu, sekalipun
kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak).
Misalnya, di daerah
pemilihan 1, calon
A memperoleh suara 100.000,
B memperoleh suara
99.999, C memperoleh 100.001,
maka yang dinyatakan
terpilih menjadi wakil dari
daerah pemilihan 1
untuk menjadi anggota lembaga
perwakilan rakyat adalah
C. Sebab, setiap distrik
hanya diwakili oleh
satu orang yang memperoleh suara yang paling banyak,
meskipun bukan mayoritas mutlak.
Kelebihan
sistem ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah
warga daerah itu sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang
pasti bahwa orang
itu dikenal secara
baik oleh warga daerah yang bersangkutan. Dengan
demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon harus erat dan saling mengenal dengan baik. Bagi para pemilih
tentunya calon yang paling mereka kenal sajalah yang akan dipilih. Sebaliknya,
karena calon yang dipilih adalah orang yang sudah dikenal
dengan baik, tentu
diharapkan bahwa yang
bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan-keadaan yang
perlu diperjuangkannya untuk
kepen-tingan rakyat daerah yang diwakilinya itu.
Sedangkan pada
sistem yang kedua,
yaitu sistim perwakilan berimbang
atau perwakilan proporsionil, persentase kursi di lembaga
perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan
persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Umpamanya,
jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum tercatat
ada 1.000.000 (satu
juta) orang. Misalnya, jumlah
kursi di lembaga
perwakilan rakyat ditentukan 100
kursi, berarti untuk
satu orang wakil rakyat
dibutuhkan suara 10.000.
Pembagian kursi di Badan
Perwakilan Rakyat tersebut
tergantung kepada berapa jumlah
suara yang didapat
setiap partai politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem
ini dipakai, maka dalam bentuk aslinya tidak perlu lagi membagikan korps pemilih atas
jumlah daerah pemilihan.
Korps pemilih boleh dibagi
atas sejumlah daerah
pemilihan dengan ketentuan bahwa
tiap-tiap daerah pemilihan
(dapil) disediakan beberapa kursi
sesuai dengan jumlah
penduduknya.
Meskipun jumlah
kursi untuk suatu
pemilihan ditentukan sesuai dengan
jumlah penduduk yang
boleh mengikuti pemilihan, dan ditentukan pula bahwa setiap kursi membutuhkan
suara dalam jumlah
tertentu, namun apabila ternyata
tidak semua penduduk
memberikan suara atau
ada sebagian yang
tidak sah, maka persentase untuk satu kursi juga menjadi
berubah. Oleh karena itu,
sistem proporsional ini
dikenal agak rumit cara
perhitungannya. Bahkan, sistem
proporsional ini dapat dilaksanakan
dengan ratusan variasi
yang berbeda-beda. Namun,
secara garis besar,
ada dua metode utama
yang biasa dikenal
sebagai variasi, yaitu
metode single transferable vote
dengan hare system,
dan metode list-system.
Pada metode
pertama, Single Transferable
Vote dengan Hare System, pemilih
diberi kesempatan untuk memilih
pilihan pertama, kedua,
dan seterusnya dari daerah
pemilihan yang bersangkutan.
Jumlah perimbangan suara yang
diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan
segera jumlah keutamaan
pertama dipenuhi, dan apabila
ada sisa suara,
maka kelebihan suara itu
dapat dipindahkan kepada
calon pada urutan berikutnya, dan
demikian seterusnya. Dengan
kemungkinan penggabungan suara itu, maka partai politik yang kecil dimungkinkan
mendapat kursi di lebaga perwakilan rakyat, meskipun semula tidak
mencapai jumlah imbangan suara yang
ditentukan. Konsekuensi dari sistem
ini adalah bahwa
penghitungan suara agak berbelit-belit dan membutuhkan
kecermatan yang seksama. Sedangkan pada metode list system, para pemilih
diminta memilih diantara
daftar-daftar calon yang
berisi sebanyak mungkin nama-nama
wakil rakyat yang
akan dipilih dalam pemilihan umum.
Partai politik
yang kecil-kecil biasanya
sangat menyukai sistim pemilihan
proporsionil, karena dimungkinkan
adanya penggabungan suara.
Jika partai politik A,
berdasarkan jumlah imbangan
suara hanya akan mempunyai
satu orang wakil
yang duduk di lembaga
perwakilan, tetapi karena
metode perhitungan
berdasarkan hare system,
dapat saja memperoleh
2 (dua) kursi lebih banyak.
Sebaliknya, sistim proporsional ini
kurang disenangi oleh
partai politik yang
besar, karena perolehannya dapat
terancam oleh partai-partai yang kecil.
Namun, terlepas
dari perbedaan antara
metode single transferable vote
dengan hare system
dan list system, yang
jelas sistem pemilihan
perwakilan berimbang atau perwakilan
proporsional ini diakui mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan dengan sistim distrik. Misalnya, tidak adanya
suara pemilih yang hilang dan diabaikan dalam mekanisme penentuan wakil rakyat
yang akan terpilih. Akibat dari hare system, maka memang tidak
ada suara yang
hilang, sehingga olehkarenanya sistem ini sering dikatakan
lebih demokratis, dan mengakibatkan lembaga
perwakilan rakyat cenderung
bersifat lebih nasional
daripada kedaerahan. Namun,
sistem ini banyak juga kelemahannya, misalnya cara perhitungannya agak
rumit, dan cenderung
mengutamakan peranan partai
politik daripada para
wakil rakyat secara langsung. Pendek kata, setiap sistem selalu
mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempurna
di dunia ini. Bahkan, negara-negara yang tadinya menganut
sistim distrik cenderung
berusaha untuk mengadopsi sistim
proporsional, tetapi negara-negara yang biasa
dengan sistim proporsional
dan banyak mengalami sendiri kekurangan-kekurangannya, cenderung
berusaha untuk menerapkan
sistim distrik yang dianggapnya lebih
baik. Semua pilihan
itu tergantung tingkat kebutuhan
riel yang dihadapi setiap masyarakat
yang ingin memperkembangkan tradisi
dan sistem demokrasi yang
diterapkan di masing-masing negara.
D. PENYELENGGARA DAN SENGKETA HASIL PEMILU
1. Lembaga Penyelenggara
Siapakah yang
seharusnya menjadi penyelenggara pemilihan umum?
Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945
telah menentukan bahwa ”Pemilihan
umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali”. Dalam
Pasal 22E ayat 5
ditentukan pula bahwa ”Pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Oleh
sebab itu, menurut UUD 1945 penyelenggara pemilihan umum itu haruslah suatu
komisi yang bersifat (i) nasional, (ii) tetap, dan (iii) mandiri atau
independen. Mengapa harus independen?
Jawabnya jelas, karena penyelenggara
pemilu itu harus
bersifat netral dan tidak
boleh memihak. Komisi
pemilihan umum itu tidak boleh dikendalikan oleh partai
politik ataupun oleh pejabat negara yang
mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta atau calon
peserta pemilihan umum. Peserta
pemilu itu sendiri
dapat terdiri atas
(i) partai politik, beserta
para anggotanya yang
dapat menjadi calon dalam
rangka pemilihan umum,
(ii) calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (iii)
calon atau anggota Dewan Perwakilan Daerah, (iv) calon atau anggota DPRD, (v)
calon atau Presiden atau Wakil Presiden, (vi) calon atau
Gubernur atau Wakil
Gubernur, (vii) calon atau Bupati atau Wakil Bupati, (viii)
calon atau Walikota atau Wakil Walikota. Kedelapan pihak yang terdaftar di
atas mempunyai kepentingan
langsung atau tidak langsung dengan
keputusan-keputusan yang akan
diambil oleh Komisi
Pemilihan Umum sebagai
penyelenggara pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus terbebas dari
kemungkinan pengaruh mereka itu.
Di Inggris,
komisi semacam ini
dinamakan The Electoral Commission
dengan jumlah anggota
antara 5 (lima) sampai dengan 9
(sembilan) orang Commissioner yang ditetapkan oleh Ratu atas usul House of
Commons untuk masa jabatan 10 (sepuluh) tahun.164 Mereka dapat
diberhentikan dari jabatannya
oleh Ratu juga
atas usul House of
Commons. Komisi ini
diberi tanggung jawabsebagai penyelenggara semua kegiatan
pemilihan umum dan referendum yang
diselenggarakan di Inggris,
baik yang bersifat lokal,
regional, maupun yang
bersifat nasional. Demikian pula,
pembagian kursi ataupun redistribusi kursi pemilihan
legislatif, pendaftaran partai politik,
pengaturan mengenai pendapatan
dan pengeluaran partai, kegiatan
kampanye dan iklan partai politik
di media massa
dan media elektronika
lainnya, semuanya menjadi tanggung
jawab dari Electoral Commission.
2. Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu
Hasil
pemilihan umum berupa
penetapan final hasil penghitungan
suara yang diikuti
oleh pembagian kursi yang
diperebutkan, yang diumumkan secara resmi oleh lembaga penyelenggara pemilihan
umum seringkali tidak memuaskan peserta
pemilihan umum, yang
tidak berhasil tampil sebagai
pemenang. Kadang-kadang terjadi
perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan umum
dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian, baik karena kesalahan teknis atau
kelemahan yang bersifat administratif
dalam perhitungan ataupun disebabkan oleh
faktor human error.
Jika perbedaan pendapat yang
demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian
bagi peserta pemilihan
umum, maka peserta pemilihan yang
dirugikan itu dapat
menempuh upaya hukum dengan
mengajukan permohonan perkara
perselisihan hasil pemilihan
umum ke Mahkamah
Konstitusi.
Jenis perselisihan
atau sengketa mengenai
hasil pemilihan umum ini
tentu harus dibedakan
dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis
pelaksanaan pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga
harus pula dibedakan dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan subjeksubjek
hukum dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Siapa saja
yang terbukti bersalah
melanggar hukum pidana, diancam
dengan pidana dan
harus dipertanggungjawabkan secara
pidana pula menurut
ketentuan yang berlaku di
bidang peradilan pidana.
Misalnya, A mencuri surat suara,
maka hal itu tergolong pelanggaran hukum
pidana yang diadili
menurut prosedur pidana. Sedangkan B melanggar jadwal kampanye
yang menjadi hak calon lain,
maka pelanggaran semacam
ini harus diselesaikan secara
administratif oleh lembaga
penyelenggara pemilihan umum
yang bertanggung jawab
di bidang itu.
Demikian pula
jika C mengajukan
permohonan perkara
perselisihan hasil pemilu
ke Mahkamah Konstitusi. Namun di
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, C berkolusi dengan pejabat Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan memalsukan bukti-bukti di persidangan
yang tidak dapat
dibantah oleh pejabat Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Pusat
dalam persidangan. Di kemudian
hari, terbukti bahwa data-data yang diajukan oleh KPU Daerah itu palsu, maka hal tersebut sepenuhnya
merupakan perkara pidana pemalsuan yang merugikan semua
pihak dan harus
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Akan tetapi, sepanjang
menyangkut hasil pemilihan
umum yang sudah
diputus final dan mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi
dalam persidangan yang terbuka
untuk umum, persoalan tindak pidana dimaksud tidak lagi
ada kaitannya dengan hasil pemilihan umum.
Dalam persidangan
di Mahkamah Konstitusi, semua
pihak, termasuk apalagi kepada pihak KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu
dan pihak-pihak yang kepentingannya terkait lainnya, sudah diberi kesempatan
yang cukup dan leluasa untuk membantah
atau menolak bukti-bukti
yang diajukan oleh pihak
pemohon perkara, tetapi
karena ternyata buktibukti
dimaksud tidak terbantahkan,
maka perkara perselisihan hasil pemilu itu sudah diputus
final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Biasanya, hal-hal
yang berkenaan dengan
kualitas bukti yang dianggap tidak benar itu justru datang
belakangan oleh pihak
penyelenggara pemilihan umum.
Akan tetapi, roda penyelenggaraan negara
dan pemerintahan tidak boleh
digantungkan kepada kealpaan atau kelalaianpenyelenggara pemilu sebagai satu kesatuan institusi penyelenggara
pemilihan umum di seluruh Indonesia. KPU adalah
satu institusi. Perkara
perselisihan hasil pemilu adalah perkara formal yang membutuhkan
teknik-teknik pembuktian yang juga bersifat formal dan dengan jadwal yang
pasti. Kepastian hukum sangat diutamakan dalam hal ini.
Sikap mengutamakan keadilan
bagi satu orang tidak
mungkin dibenarkan, apabila
hal itu justru
akan menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtszekerheid).
Sebab,
dalam jenis perkara perselisihan hasil pemilihan umum, tanpa adanya kepastian
hukum (rechtszekerheid) yang tegas, niscaya
dapat timbul ketidakadilan
dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan negara dan karena itu dapat
menimbulkan ketidakadilan bagi semua warga negara. Tentu tidak
semua negara memiliki
Mahkamah Konstitusi ataupun mekanisme penyelesaian perselisihan hasil
pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi. Di negara-negara yang
tidak memiliki lembaga
seperti ini, biasanya
perkara-perkara pemilu itu langsung ditangani oleh Mahkamah
Agung. Di Amerika
Serikat, perkara seperti ini juga
ditangani oleh Mahkamah Agung negara bagian,
dan baru setelah
itu ditangani oleh
Mahkamah Agung Federal. Tetapi,
di Brazil, peradilan
pemilu ini dilembagakan secara
tersendiri, yaitu untuk
menangani semua aspek perkara
hukum yang terkait
dengan pemilihan umum. Dengan
ada mekanisme peradilan
terhadap sengketa hasil pemilihan
umum ini, maka
setiap perbedaan pendapat mengenai
hasil pemilihan umum tidak
boleh dikembangkan menjadi
sumber konflik politik atau
bahkan menjadi konflik
sosial yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian
perbedaan mengenai hasil
perhitungan suara pemilihan
umum menyangkut pertarungan kepentingan
politik antar kelompok
warga negara sudah seharusnya
diselesaikan melalui jalan hukum
dan konstitusi. Dengan
kewenangannya untuk mengadili dan
menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat dikatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi diberi tanggung jawab untuk menyediakan
jalan konstitusi bagi para pihak
yang bersengketa, yaitu antara pihak penyelenggara pemilihan
umum dan pihak
peserta pemilihan umum.
0 komentar:
Posting Komentar