A.       
PARTAI POLITIK
 1.  
Partai dan Pelembagaan Demokrasi 
 Partai 
politik  mempunyai  posisi 
(status)  dan peranan (role) yang sangat
penting dalam setiap sistem demokrasi. 
Partai  memainkan  peran 
penghubung  yang sangat  strategis 
antara  proses-proses  pemerintahan dengan warga negara. Bahkan,
banyak yang berpendapat bahwa 
partai  politiklah  yang 
sebetulnya  menentukan demokrasi,
seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political  parties 
created  democracy”.  Oleh 
karena  itu, partai politik
merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat  derajat 
pelembagaannya  (the  degree 
of institutionalization)  dalam  setiap 
sistem  politik  yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider
dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Namun  demikian, 
banyak  juga  pandangan 
kritis dan  bahkan  skeptis 
terhadap  partai  politik. 
Pandangan yang  paling  serius 
di  antaranya  menyatakan 
bahwa partai  politik  itu 
sebenarnya  tidak  lebih 
daripada kendaraan  politik  bagi 
sekelompok  elite  yang 
berkuasa atau  berniat  memuaskan 
“nafsu  birahi”  kekuasaannya sendiri.  Partai 
politik  hanyalah  berfungsi 
sebagai  alat bagi segelintir
orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang
mudah dikelabui, untuk  memaksakan  berlakunya 
kebijakan-kebijakan publik 
tertentu  at  the 
expense  of  the 
general  will  atau kepentingan umum.  
Dalam  suatu 
negara  demokrasi,  kedudukan 
dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan  bersifat 
saling  mengendalikan  dalam 
hubungan checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara
tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah
wibawanya dalam menjalankan fungsinya 
masing-masing,  maka  yang 
sering  terjadi adalah  partai-partai 
politik  yang  rakus 
atau  ekstrimlah yang  merajalela 
menguasai  dan  mengendalikan 
segala proses-proses 
penyelenggaraan 
fungsi-fungsi  pemerintahan. 
Oleh karena itu,
sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan
berdasarkan  prinsip  checks 
and  balances  dalam 
arti  yang  luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya
fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances
berdasarkan  konstitusi  juga 
sangat  menentukan  kualitas 
sistem kepartaian  dan  mekanisme 
demokrasi  yang  dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu
berkaitan erat dengan  dinamika  pertumbuhan 
tradisi  dan  kultur berpikir bebas dalam kehidupan
bermasyarakat. Tradisi berpikir 
atau  kebebasan  berpikir 
itu  pada  gilirannya mempengaruhi  tumbuh-berkembangnya  prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan
berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan. 
Tentu saja,
partai politik merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud
ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam
masyarakat  demokratis.  Di 
samping  partai  politik, 
bentuk  ekspresi  lainnya 
terjelma  juga  dalam 
wujud  kebebasan pers, kebebasan
berkumpul, ataupun kebebasan berserikat 
melalui 
organisasi-organisasi  non-partai
politik  seperti  lembaga 
swadaya  masyarakat  (LSM), organisasi-organisasi  kemasyarakatan (Ormas), organisasi non
pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya. 
Namun, dalam
hubungannya dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik sebagai media dan
wahana tentulah sangat menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain seperti
pers yang bebas dan peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan sebagainya,
peranan partai politik dapat dikatakan sangat menentukan dalam dinamika
kegiatan  bernegara.  Partai 
politik  betapapun  juga 
sangat berperan  dalam  proses 
dinamis  perjuangan  nilai 
dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya
untuk menentukan kebijakan dalam konteks kegiatan  bernegara. 
Partai  politiklah  yang 
bertindak sebagai  perantara  dalam 
proses-proses  pengambilan keputusan
bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi
kenegaraan. Menurut Robert  Michels  dalam 
bukunya,  “Political  Parties, 
A Sociological  Study  of 
the  Oligarchical  Tendencies 
of Modern Democracy”, disebutkan bahwa “... organisasi ...
merupakan  satu-satunya  sarana 
ekonomi  atau  politik untuk membentuk kemauan kolektif”.
Kesempatan  untuk 
berhasil  dalam  setiap perjuangan  kepentingan 
sangat  banyak  tergantung kepada  tingkat 
kebersamaan  dalam  organisasi. 
Tingkat kebersamaan  itu  terorganisasikan  secara 
tertib  dan teratur dalam
pelaksanaan perjuangan bersama di antara orang-orang  yang 
mempunyai  kepentingan  yang 
sama yang  menjadi  anggota 
organisasi  yang  bersangkutan. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa berorganisasi itu merupakan 
prasyarat  mutlak  dan 
hakiki  bagi  setiap perjuangan politik (organizational
imperative). Dengan begitu,  harus  diakui 
pula  bahwa  peranan 
organisasi partai  politik  sangat 
penting  dalam  rangka 
dinamika pelembagaan 
demokrasi.  Dengan  adanya 
organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya  dalam 
menghadapi  pihak  lawan 
atau  saingan, karena
kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam
satu front. 
Proses
pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat 
ditentukan  oleh  pelembagaan 
organisasi  partai politik  sebagai 
bagian  yang  tak 
terpisahkan  dari  sistem demokrasi  itu 
sendiri.  Oleh  karena 
itu,  menurut  Yves Meny and Andrew Knapp, “A democratic
system without political parties or with a single party is impossible or
at  any 
rate  hard  to 
imagine”.142  Suatu  sistem 
politik dengan  hanya  1 
(satu)  partai  politik, 
sulit  sekali dibayangkan  untuk 
disebut  demokratis,  apalagi 
jika tanpa  partai  politik 
sama  sekali.  Derajat 
pelembagaan partai  politik  itu 
sendiri  dalam  sistem 
demokrasi, tergantung pada 3 (tiga) parameter, yaitu (i) its age, (ii)
the  depersonalization  of 
organization,  dan  (iii) organizational differentiation.
Setiap  organisasi  yang 
normal  tumbuh  dan 
berkembang  alamiah  menurut 
tahapan  waktunya  sendiri. Oleh 
karena  itu,  makin 
tua  usianya,  ide-ide 
dan  nilai-nilai  yang 
dianut  di  dalam 
organisasi  tersebut  semakin terlembagakan (institutionalized)  menjadi tradisi dalam organisasi. Organisasi
yang berkembang dan semakin melembaga cenderung pula mengalami proses
depersonalisasi. Orang dalam maupun orang luar sama-sama menyadari dan  memperlakukan 
organisasi  yang  bersangkutan sebagai institusi, dan tidak
dicampuradukkannya dengan persoalan 
personal  atau  pribadi 
para  individu  yang kebetulan  menjadi 
pengurusnya.  Banyak  organisasi, meskipun  usianya 
sudah  sangat  tua, 
tetapi  tidak  terbangun 
suatu  tradisi  di 
mana  urusan-urusan  pribadi pengurusnya  sama 
sekali  terpisah  dan 
dipisahkan  dari urusan  keorganisasian.  Dalam 
hal  demikian,  berarti derajat  pelembagaan 
organisasi  tersebut  sebagai institusi,  masih 
belum  kuat,  atau 
lebih  tegasnya  belum terlembagakan sebagai organisasi yang
kuat. 
Jika  hal 
ini  dihubungkan  dengan 
kenyataan  yang terjadi  di 
Indonesia,  banyak  sekali 
organisasi  kemasyarakatan yang
kepengurusannya masih sangat personalized.   
Organisasi-organisasi  besar  di 
bidang  keagamaan, seperti
Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain dengan derajat yang berbeda-beda,
masih menunjukkan gejala 
personalisasi  yang  kuat 
atau  malah  sangat 
kuat. Organisasi-organisasi  di  bidang 
sosial,  kesehatan,  kepemudaan, dan bahkan bidang pendidikan,
banyak sekali yang masih personalized, meskipun derajatnya berbedabeda.  Bahkan, 
saking  bersifat  personalized-nya  organisasi 
yang  dimaksud,  banyak 
pula  di  antaranya 
yang segera  bubar  tidak 
lama  setelah  ketuanya 
meninggal dunia. 
Gejala  “personalisasi”  juga 
terlihat  tatkala  suatu organisasi  mengalami 
kesulitan  dalam  melakukan suksesi  atau 
pergantian  kepemimpinan.  Dikatakan 
oleh Monica dan Jean Charlot: 
“Until a party
(or any association) has surmounted the crisis of finding a successor to its
founder, until it has drawn up rules of succession that are legitimate in the
eyes of its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”.
 Selama 
suatu  organisasi  belum 
dapat  mengatasi krisis  dalam 
pergantian  kepemimpinannya,  dan 
belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang dapat diakui dan  dipercaya 
oleh  anggotanya,  maka 
selama  itu  pula pelembagaan organisasi tersebut masih
bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat. Apalagi jika pergantian itu berkenaan  dengan 
pemimpin  yang  merupakan 
pendiri yang  berjasa  bagi 
organisasi  bersangkutan,  seringkali timbul kesulitan untuk melakukan
pergantian yang tertib dan damai. Namun, derajat pelembagaan organisasi yang
bersangkutan  tergantung  kepada 
bagaimana  persoalan
pergantian  itu  dapat 
dilakukan  secara  impersonal 
dan depersoanlized. 
Jika  kita 
menggunakan  parameter  “personalisasi” ini untuk menilai organisasi
kemasyarakatan dan partai-partai politik di tanah air dewasa ini, tentu banyak
sekali organisasi yang dengan derajat yang berbeda-beda dapat dikatakan  belum 
semuanya  melembaga  secara depersonalized.  Perhatikanlah 
bagaimana  pelembagaan dari  partai-partai 
seperti  Partai  Golongan 
Karya (GOLKAR),  Partai  Amanat 
Nasional  (PAN),  Partai 
Demokrasi  Indonesia  Perjuangan 
(PDIP),  Partai  Kebangkitan 
Bangsa  (PKB),  Partai 
Persatuan  Pembangunan (PPP),
Partai Bulan Bintang (PBB), dan sebagainya. Ada yang diiringi oleh perpecahan,
ada pula yang belum sama sekali berhasil mengadakan forum Kongres,
MusyawarahNasional, atau Muktamar.
Di  samping 
kedua  parameter  di 
atas,  derajat pelembagaan  organisasi 
juga  dapat  dilihat 
dari  segi organizational
differentiation. Dalam hal ini, yang perlu dilihat adalah seberapa jauh organisasi
kemasyarakatan ataupun partai politik yang bersangkutan berhasil
mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan  konstituennya.  Dalam 
sistem  demokrasi dengan banyak
partai politik,  aneka ragam aspirasi dan
kepentingan  politik  yang 
saling  berkompetisi  dalam masyarakat  memerlukan 
penyalurannya  yang  tepat melalui 
pelembagaan  partai  politik. 
Semakin  besar dukungan  yang 
dapat  dimobilisasikan  oleh 
dan disalurkan  aspirasinya  melalui 
suatu  partai  politik, semakin  besar 
pula  potensi  partai 
politik  itu  untuk disebut telah terlembagakan secara
tepat. 
Untuk  menjamin 
kemampuannya  memobilisasi
dan  menyalurkan  aspirasi 
konstituen  itu,  struktur organisasi  partai 
politik  yang  bersangkutan 
haruslah disusun  sedemikian  rupa, 
sehingga  ragam  kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung
dan diakomodasikan seluas mungkin. Oleh karena itu, struktur internal partai
politik penting untuk disusun secara tepat. Di satu pihak, ia  harus 
sesuai  dengan  kebutuhan 
untuk  mobilisasi dukungan dan
penyaluran aspirasi konstituen. Di pihak lain, 
struktur  organisasi  partai 
politik  juga  harus 
disesuaikan  dengan  format 
organisasi  pemerintahan  yang diidealkan  menurut 
visi  partai  politik 
yang  dimintakan kepada konstituen
untuk memberikan dukungan mereka. Semakin 
cocok  struktur  internal 
organisasi  partai  itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula
derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan. 
2.   Fungsi Partai Politik 
 Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa
menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai
politik itu  menurut Miriam Budiardjo,
meliputi  sarana:146  (i) 
komunikasi  politik,  (ii) 
sosialisasi politik 
(political  socialization),  (iii) 
rekruitmen  politik
(political  recruitment),  dan 
(iv)  pengatur  konflik (conflict  management). 
Dalam  istilah  Yves 
Meny  dan Andrew Knapp, fungsi
partai politik itu mencakup fungsi (i) 
mobilisasi  dan  integrasi; 
(ii)  sarana  pembentukan pengaruh  terhadap 
perilaku  memilih  (voting 
patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan
kebijakan.
Keempat  fungsi 
tersebut  sama-sama  terkait 
satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai
berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests
articulation) atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang yang
tersembunyi  dalam  masyarakat. 
Berbagai  kepentingan  itu diserap 
sebaik-baiknya  oleh  partai 
politik  menjadi  ide-ide, 
visi,  dan  kebijakan-kebijakan  partai 
politik  yang bersangkutan.  Setelah 
itu,  ide-ide  dan 
kebijakan  atau aspirasi  kebijakan 
itu  diadvokasikan  sehingga 
dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan
kenegaraan yang resmi.  
Terkait dengan
komunikasi politik itu, partai politik juga 
berperan  penting  dalam 
melakukan  sosialisasi
politik  (political  socialization).  Ide, 
visi,  dan  kebijakan strategis  yang 
menjadi  pilihan  partai 
politik  dimasyarakatkan kepada
konstituen untuk mendapatkan feedback berupa 
dukungan  dari  masyarakat 
luas.  Terkait  dengan sosialisasi politik ini, partai juga
berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi
struktur-antara  atau  intermediate 
structure  yang  harus memainkan  peran 
dalam  membumikan  cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif
masyarakat warga negara. 
Misalnya, dalam
rangka keperluan untuk memasyarakatkan 
kesadaran  negara  berkonstitusi,  partai 
dapat memainkan  peran  yang 
penting.  Tentu,  pentingnya peran  partai 
politik  dalam  hal 
ini,  tidak  boleh 
diartikan bahwa  hanya  partai 
politik  saja  yang 
mempunyai tanggung jawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua  kalangan, 
dan  bahkan  para 
pemimpin  politik yang duduk di
dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif,
mempunyai tanggung jawab  yang  sama 
untuk  itu.  Namun, 
yang  hendak ditekankan  di 
sini  adalah  bahwa 
peranan  partai  politik dalam 
rangka  pendidikan  politik 
dan  sosialisasi  politik itu sangatlah besar. 
Fungsi  ketiga 
partai  politik  adalah 
sarana rekruitmen  politik  (political 
recruitment).  Partai
dibentuk  memang  dimaksudkan 
untuk  menjadi kendaraan  yang 
sah  untuk  menyeleksi 
kader-kader  pemimpin  negara 
pada  jenjang-jenjang  dan 
posisi-posisi tertentu. 
Kader-kader  itu  ada 
yang  dipilih  secara langsung oleh rakyat, ada pula yang
dipilih melalui cara yang  tidak  langsung, 
seperti  oleh  Dewan 
PerwakilanRakyat,  ataupun  melalui 
cara-cara  yang  tidak 
langsung lainnya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh
peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan  profesional 
di  bidang-bidang  kepegawainegerian dan lain-lain yang tidak
bersifat politik (political 
appointment),  tidak  boleh 
melibatkan  peran partai  politik. 
Partai  hanya  boleh 
terlibat  dalam pengisian  jabatan-jabatan  yang 
bersifat  politik  dan karena itu memerlukan pengangkatan
pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment). Untuk
menghindarkan terjadinya 
pencampuradukan,  perlu dimengerti
benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat  politik 
itu  dengan  jabatan-jabatan  yang 
bersifat teknis-administratif 
dan  profesional.  Di 
lingkungan kementerian, 
hanya  ada  satu 
jabatan  saja  yang 
bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan, para pembantu Menteri  di 
lingkungan  instansi  yang 
dipimpinnya  adalah pegawai  negeri 
sipil  yang  tunduk 
kepada  peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian. 
Jabatan  dibedakan 
antara  jabatan  negara 
dan jabatan pegawai negeri. Pejabat yang menduduki jabatan negara  disebut 
sebagai  pejabat  negara. 
Seharusnya, supaya 
sederhana,  yang  menduduki 
jabatan  pegawai negeri disebut
pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya
pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan
struktural dan  jabatan  fungsional. 
Jenjang  jabatan  itu 
masingmasing telah ditentukan dengan sangat jelas hierarkinya dalam  rangka 
penjenjangan  karir.  Misalnya, 
jenjang jabatan  struktural  tersusun 
mulai  dari  eselon 
5,  4,  3,  2,
sampai  ke  eselon 
1.  Untuk  jabatan 
fungsional,  jenjang jabatannya  ditentukan 
berdasarkan  sifat  pekerjaan 
di masing-masing  unit  kerja. 
Misalnya,  untuk  dosen 
di perguruan  tinggi  yang 
paling  tinggi  adalah 
guru  besar. Jenjang  di 
bawahnya  adalah  guru 
besar  madya,  lektor kepala, lektor kepala madya, lektor,
lektor madya, lektor muda,  asisten  ahli, 
asisten  ahli  madya, 
dan  asisten.  Di bidang-bidang  lain, 
baik  jenjang  maupun 
nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya. 
Untuk  pengisian 
jabatan  atau  rekruitmen 
pejabat negara/kenegaraan, 
baik  langsung  ataupun 
tidak  langsung,  partai 
politik  dapat  berperan. 
Dalam  hal  inilah, fungsi  partai 
politik  dalam  rangka 
rekruitmen  politik (political  recruitment) 
dianggap  penting.  Sedangkan, untuk  pengisian 
jabatan  negeri  seperti 
tersebut  di  atas, partai 
sudah  seharusnya  dilarang 
untuk  terlibat  dan melibatkan diri.
Fungsi  keempat 
adalah  pengatur  dan 
pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management).
Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan  kepentingan-kepentingan  (interests) 
yang  tumbuh dalam  kehidupan 
masyarakat  sangat  beraneka 
ragam, rumit,  dan  cenderung 
saling  bersaing  dan 
bertabrakan satu  sama  lain. 
Jika  partai  politiknya 
banyak,  berbagai kepentingan  yang 
beraneka  ragam  itu 
dapat  disalurkan melalui
polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi,  program, 
dan  alternatif  kebijakan 
yang  berbeda-beda satu sama lain.  Dengan 
perkataan  lain,  sebagai 
pengatur  atau  pengelola 
konflik  (conflict  management), 
partai  berperan sebagai  sarana 
agregasi  kepentingan  (aggregation 
of interests)  yang  menyalurkan 
ragam  kepentingan  yang berbeda-beda  itu 
melalui  saluran  kelembagaan 
politik partai.  Oleh  karena 
itu,  dalam  kategori 
Yves  Meny  dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik
dapat dikaitkan dengan  fungsi  integrasi 
partai  politik.  Partai 
mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan  cara 
menyalurkannya  dengan  sebaik-baiknya untuk  mempengaruhi 
kebijakan-kebijakan  politik  kenegaraan.
3.   Kelemahan Partai Politik 
 Adanya 
organisasi  itu,  tentu 
dapat  dikatakan  juga mengandung  beberapa 
kelemahan.  Di  antaranya 
ialah bahwa organisasi cenderung bersifat oligarkis. Organisasi  dan 
termasuk  juga  organisasi 
partai  politik,  kadangkadang bertindak dengan lantang untuk
dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan  justru 
berjuang  untuk  kepentingan 
pengurusnya sendiri.  Seperti  dikemukakan 
oleh  Robert  Michels sebagai suatu hukum besi yang berlaku
dalam organisasi bahwa:  
“Organisasilah
yang melahirkan dominasi si terpilih atas para 
pemilihnya,  antara  si 
mandataris  dengan  si pemberi 
mandat  dan  antara 
si  penerima  kekuasaan dengan sang pemberi. Siapa saja yang
berbicara tentang organisasi,  maka  sebenarnya 
ia  berbicara  tentangoligarki”. 
Untuk  mengatasi 
berbagai  potensi  buruk 
partai politik seperti dikemukakan di atas, diperlukan beberapa
mekanisme  penunjang.  Pertama, 
mekanisme  internal yang  menjamin 
demokratisasi  melalui  partisipasi anggota partai politik itu
sendiri dalam proses pengambilan 
keputusan.  Pengaturan  mengenai 
hal  ini  sangat penting  dirumuskan 
secara  tertulis  dalam 
anggaran dasar  (constitution  of 
the  party)  dan  anggaran  rumah tangga 
partai  politik  bersangkutan 
yang  ditradisikan dalam rangka
rule of law. Di  samping  anggaran 
dasar  dan  anggaran 
rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan, perlu diperkenalkan  pula 
sistem  kode  etika 
positif  yang  dituangkan sebagai  Code 
of  Ethics  yang 
dijamin  tegaknya  melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan
begitu, di dalam dinamika  internal  organisasi 
partai,  berlaku  tiga dokumen 
sekaligus,  yaitu  Code 
of  Law  yang 
tertuang dalam  anggaran  dasar 
(constitution  of  the 
political party),  Code  of 
Conduct  (code  of 
organizational  good conducts)
yang tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan Code of Ethics dalam dokumen
yang tersendiri.                                                 
Dengan  demikian, 
norma  hukum,  norma 
moral, dan  norma  etika 
diharapkan  dapat  berfungsi 
efektif membangun kultur internal setiap partai politik.
Aturanaturan  yang  dituangkan 
di  atas  kertas, 
juga  ditegakkan secara nyata
dalam praktik, sehingga prinsip rule of law, dan  rule 
of  ethics  dapat 
sungguh-sungguh  diwujudkan mulai
dari kalangan internal partai-partai politik sebagai sumber  kader 
kepemimpinan  negara.  Di 
dalam  ketiga kode normatif
tersebut tersedia berbagai prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan
anggota, pengaturan mengenai 
lembaga-lembaga  internal,  mekanisme 
hubungan  lembaga-lembaga,  serta 
mekanisme  penyelesaian
konflik  yang  elegan 
dan  dapat  dijadikan 
pegangan  bersama.  Dengan 
begitu,  setiap  perbedaan 
pendapat  dapat disalurkan  secara 
baik  dan  konflik 
dapat  diatasi  agar tidak membawa kepada perpecahan yang
tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict). 
Kedua,  mekanisme 
keterbukaan  partai  di 
mana  warga  masyarakat 
di  luar  partai 
dapat  ikut  serta 
berpartisipasi  dalam  penentuan 
kebijakan  yang  hendak diperjuangkan  melalui 
dan  oleh  partai 
politik.  Partai politik  harus 
dijadikan  dan  menjadi 
sarana  perjuangan rakyat  dalam 
turut  menentukan  bekerjanya 
sistem kenegaraan  sesuai  aspirasi 
mereka.  Oleh  karena 
itu, pengurus  hendaklah  berfungsi 
sebagai  pelayan  aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya.
Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma dalam cara  memahami 
partai  dan  kegiatan 
berpartai.  Menjadi pengurus  bukanlah 
segala-galanya.  Namun  yang 
lebih penting  adalah  menjadi 
wakil  rakyat.  Akan 
tetapi,  jika yang  menjadi 
faktor  sebagai  penentu 
adalah  terpilih tidaknya  seseorang 
menjadi  wakil  rakyat, 
maka  setiap orang tentu akan
berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan 
untuk  menjadi  pimpinan 
puncak  partai  politik. Akibatnya,  menjadi 
pengurus  dianggap  keharusan 
dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat. Dua-duanyadirangkap
sekaligus, dan untuk seterusnya partai politik hanya  akan 
berfungsi  sebagai  kendaraan 
bagi  individu para  pengurusnya 
untuk  terus  mempertahankan  posisi sebagai wakil rakyat atau untuk
meraih  jabatan-jabatan publik lainnya. 
Kepengurusan  partai 
politik  di  masa 
depan memang  sebaiknya  diarahkan 
untuk  menjadi  pengelola yang profesional yang terpisah dan
dipisahkan dari para calon  wakil  rakyat. 
Mungkin  ada  baiknya 
untuk dipikirkan  bahwa  kepengurusan 
partai  politik  dibagi 
ke dalam  3  (tiga) 
komponen,  yaitu  (i) 
komponen  kader wakil rakyat, (ii)
komponen kader pejabat eksekutif, dan (iii) 
komponen  pengelola  profesional. 
Ketiganya  diatur dalam  struktur 
yang  terpisah,  dan 
tidak  boleh  ada rangkap 
jabatan dan pilihan jalur. Pola rekruitmen dan promosi  diharuskan 
mengikuti  jalur  yang 
sudah ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut.  Jika 
seseorang  berminat  menjadi 
anggota  DPRD atau DPR, maka  ia diberi kesempatan sejak awal untuk
menjadi  anggota  Dewan 
Perwakilan  Partai  atau  yang
dapat  disebut  dengan 
nama  lain,  yang 
disediakan tersendiri 
strukturnya  dalam  kepengurusan 
Partai. Sedangkan  kader  yang 
berminat  duduk  di 
lembaga eksekutif  tidak  duduk 
di  Dewan  Perwakilan, 
melainkan duduk dalam Dewan Kabinet 
atau yang disebut dengan nama 
lain.  Di  luar 
kedua  struktur  itu, 
adalah  struktur kepengurusan  biasa 
yang  dijabat  oleh 
para  profesional yang  digaji 
oleh  partai  dan 
tidak  dimaksudkan  untuk direkrut  menjadi 
wakil  rakyat  ataupun 
untuk  dipromosikan  menduduki 
jabatan  di  lingkungan 
pemerintahan.  Ketiga  kelompok 
pengurus  tersebut  hendaknya 
jangan  dicampur  aduk 
atau  terlalu  mudah 
berpindahpindah posisi dan jalur. Kalaupun ada orang yang ingin
pindah  jalur  karena 
alasan  yang  rasional, 
maka  hal  itudapat 
saja  dimungkinkan  dengan 
memenuhi  syarat-syarat  tertentu, 
sehingga  tidak  justru 
menjadi  stimulus bagi  kaum 
oportunis  yang  akan 
merusak  rasionalitas kultur
demokrasi dan rule of law di dalam partai. Untuk mendorong  agar 
mekanisme  kepengurusan  dan pengelolaan  partai 
menjadi  makin  baik, 
pengaturannya perlu  dituangkan  dalam 
undang-undang  dan  peraturan perundang-undangan  lainya. 
Hal  itu  tidak 
cukup  hanya diatur dalam anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga 
partai  yang  bersangkutan. 
Mekanisme  pertama  dan kedua tersebut di atas, berkaitan dengan
aspek internal organisasi partai politik. 
Di  samping 
itu,  diperlukan  pula 
dukungan  iklim eksternal  yang 
tercermin  dalam,  yaitu: 
Ketiga, penyelenggaraan 
negara  yang  baik 
dengan  makin meningkatnya  kualitas 
pelayanan  publik  (public services), serta keterbukaan dan
akuntabilitas organisasi kekuasaan 
dalam  kegiatan  penyelenggaraan  negara. Dengan  adanya 
pelayanan  umum  yang 
baik  disertai keterbukaan  dan 
akuntabilitas  pemerintahan  dan penyelenggara  negara 
lainnya,  iklim  politik 
dengan sendirinya  akan  tumbuh 
sehat  dan  juga 
akan  menjadi lahan subur bagi
partai politik untuk berkembang secara sehat pula.  Keempat, berkembangnya pers bebas yang
semakin profesional  dan  mendidik. 
Media  pers  adalah 
saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran yang sangat luas.
Peranannya dalam demokrasi sangat menentukan. Oleh sebab itu, pers dianggap
sebagai the fourth estate of democracy, atau untuk melengkapi istilah trias
politica dari  Montesquieu,  disebut 
juga  dengan  istilah 
quadru politica.  Kelima,  kuatnya 
jaminan  kebebasan  berpikir (freedom  of 
thought),  dan  berekspresi 
(freedom  of expression), serta
kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi 
secara  damai  (freedom 
of  peaceful  assembly and 
association).  Pada  intinya 
kebebasan  dalam  peri kehidupan  bersama 
umat  manusia  itu 
adalah  bermula dari  kebebasan 
berpikir  (freedom  of 
thought).  
kebebasan  berpikir 
itulah  selanjutnya  berkembang prinsip-prinsip freedom of belief,
freedom of expression, freedom of assembly, freedom of association, feedom of
the  press,  dan 
sebagainya.  Oleh  sebab 
itu,  iklim  atau kondisi 
yang  sangat  diperlukan 
bagi  dinamika  pertumbuhan dan perkembangan partai politik
di suatu negara, adalah  iklim  kebebasan 
berpikir.  Artinya,  partai 
politik yang baik memerlukan lahan sosial untuk tumbuh, yaitu
adanya  kemerdekaan  berpikir 
di  antara  sesama 
warga negara  yang  akan 
menyalurkan  aspirasi  politiknya melalui  salah 
satu  saluran  yang 
utama,  yaitu  partai politik.
Dalam  sistem 
representative  democracy,  biasa dimengerti  bahwa 
partisipasi  rakyat  yang 
berdaulat terutama  disalurkan  melalui 
pemungutan  suara  rakyat untuk 
membentuk  lembaga  perwakilan. 
Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk
maksud  menjamin  keterwakilan 
aspirasi  atau  kepentingan 
rakyat.  Oleh  karena 
itu,  dalam  sistem 
perwakilan, kedudukan  dan  peranan 
partai  politik  dianggap 
sangat dominan.
B.    PEMILU DAN KEDAULATAN RAKYAT 
 1.  
Pemilu Berkala 
 Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan
Har-maily Ibrahim, dalam paham kedaulatan rakyat (democracy),  rakyatlah 
yang  dianggap  sebagai 
pemilik  dan pemegang  kekuasaan 
tertinggi  dalam  suatu 
negara.Rakyatlah  yang  menentukan 
corak  dan  cara pemerintahan  diselenggarakan.  Rakyatlah 
yang  menentukan  tujuan 
yang  hendak  dicapai 
oleh  negara  dan pemerintahannya  itu. 
Dalam  praktik,  sering 
dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya sedikit dan ukuran wilayahnya
tidak begitu luas saja pun, kedaulatan rakyat itu tidak dapat berjalan secara
penuh. Apalagi di negara-negara 
yang  jumlah  penduduknya 
banyak  dan dengan wilayah yang
sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin 
untuk  menghimpun  pendapat 
rakyat  seorang demi seorang
dalam  menentukan jalannya suatu
pemerintahan.  Lagi  pula, 
dalam  masyarakat  modern 
seperti sekarang  ini,  tingkat 
kehidupan  berkembang  sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat
kecerdasan warga yang tidak merata dan dengan tingkat spesialisasi antar
sektor  pekerjaan  yang 
cenderung  berkembang  semakin tajam. Akibatnya, kedaulatan rakyat
tidak mungkin dilakukan  secara  murni. 
Kompleksitas  keadaan  menghendaki 
bahwa  kedaulatan  rakyat 
itu  dilaksanakan dengan melalui
sistim perwakilan (representation). 
Dalam kedaulatan
rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sistem
demokrasi perwakilan  (representative  democracy) 
atau  demokrasi tidak  langsung 
(indirect  democracy).  Di 
dalam  praktik, yang  menjalankan 
kedaulatan  rakyat  itu 
adalah  wakilwakil  rakyat 
yang  duduk  di 
lembaga  perwakilan  rakyat yang 
disebut  parlemen.  Para 
wakil  rakyat  itu 
bertindak atas  nama  rakyat, 
dan  wakil-wakil  rakyat 
itulah  yang menentukan  corak 
dan  cara  bekerjanya 
pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka
panjang  maupun  dalam 
jangka  waktu  yang 
relatif pendek.  Agar  wakil-wakil 
rakyat  benar-benar  dapat bertindak atas nama rakyat, maka
wakil-wakil rakyat itu harus 
ditentukan  sendiri  oleh 
rakyat,  yaitu  melalui pemilihan  umum 
(general  election).  Dengan 
demikian, pemilihan  umum  itu 
tidak  lain  merupakan 
cara  yang diselenggarakan  untuk 
memilih  wakil-wakil  rakyat secara 
demokratis.  Oleh  karena 
itu,  bagi  negara-negara yang menyebut diri sebagai
negara demokrasi, pemilihan umum 
(general  election)  merupakan 
ciri  penting  yang harus 
dilaksanakan  secara  berkala 
dalam  waktu-waktu yang tertentu. 
Peserta pemilihan
umum itu dapat bersifat kelembagaan 
atau  perorangan  calon 
wakil  rakyat.  Peserta pemilihan  umum 
merupakan  perorangan  apabila 
yang dicalonkan  adalah  bersifat 
pribadi.154  Akan  tetapi, meskipun  calon 
itu  bersifat  pribadi, 
biasanya  mesin politik  untuk 
mendukung  pencalonan  dan 
kegiatan kampanye  tetap  diperlukan 
yang  bersifat  kelembagaan. Kelembagaan  yang 
dimaksud  itulah  yang 
biasanya disebut  partai  politik, 
yaitu  organisasi  yang 
secara sengaja  dibentuk  untuk 
tujuan-tujuan  yang  bersifat politik, seperti untuk kepentingan
rekruitmen politik dan komunikasi 
politik,  dan  sebagainya. 
Oleh  karena  itu, partai 
politik  terkait  erat 
dengan  kegiatan  pemilihan umum. Bahkan, dapat dikatakan
partai politik itu merupakan  pilar  yang 
penting  dalam  sistim 
demokrasi perwakilan  yang  secara 
periodik  menyelenggarakan
kegiatan pemilihan umum. Pentingnya 
pemilihan  umum  diselenggarakan secara  berkala 
dikarenakan  oleh  beberapa 
sebab. Pertama,  pendapat  atau 
aspirasi  rakyat  mengenai berbagai  aspek 
kehidupan  bersama  dalam 
masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu.                                                  
Dalam  jangka 
waktu  tertentu,  dapat 
saja  terjadi  bahwa sebagian  besar 
rakyat  berubah  pendapatnya 
mengenai sesuatu  kebijakan  negara. 
Kedua,  di  samping 
pendapat rakyat  dapat  berubah 
dari  waktu  ke 
waktu,  kondisi kehidupan  bersama 
dalam  masyarakat  dapat 
pula berubah,  baik  karena 
dinamika  dunia  internasional ataupun karena faktor dalam
negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor
eksternal manusia.  Ketiga,  perubahan-perubahan  aspirasi 
dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan
jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka 
itu,  terutama  para 
pemilih  baru  (new 
voters) atau  pemilih  pemula, 
belum  tentu  mempunyai 
sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Lagi pula, keempat,
pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk  maksud 
menjamin  terjadinya  pergantian 
kepemimpinan  negara,  baik 
di  cabang  kekuasaan 
eksekutif maupun legislatif.  
Untuk  menjamin 
siklus  kekuasaan  yang 
bersifat teratur itu diperlukan mekanisme pemilihan umum yang
diselenggarakan  secara  berkala, 
sehingga  demokrasi dapat  terjamin, 
dan  pemerintahan  yang 
sungguh-sungguh  mengabdi  kepada 
kepentingan  seluruh  rakyat dapat 
benar-benar  bekerja  efektif 
dan  efisien.  Dengan adanya 
jaminan  sistem  demokrasi 
yang  beraturan demikian  itulah 
kesejahteraan  dan  keadilan 
dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Di samping itu, untuk memberi
kesempatan kepada rakyat, baik mereka yang sudah pernah memilih maupun para
pemilih pemula itu untuk turut menentukan kebijakan  kenegaraan 
dan  pemerintahan,  maka 
pemilihan umum  (general  election) 
itu  harus  dilaksanakan 
secara berkala  atau  periodik 
dalam  waktu-waktu  tertentu. Untuk itu, ada negara yang menentukan
bahwa pemilihan umum dilaksanakan sekali 
dalam lima  tahun seperti Republik
Indonesia, dan ada pula negara seperti Amerika 
Serikat  yang  menentukan 
pemilihan  Presiden  dan Wakil 
Presidennya  dalam  jangka 
waktu  empat  tahun sekali. 
Selain  itu,  negara-negara 
yang  menganut  sistim pemerintahan  parlementer, 
pemilihan  umum  itu 
dapat pula  diselenggarakan  lebih 
kerap  lagi  sesuai 
dengan kebutuhan. 
Kegiatan  pemilihan 
umum  (general  election) 
juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara  yang 
sangat  prinsipil.  Oleh 
karena  itu,  dalam rangka 
pelaksanaan  hak-hak  asasi 
warga  negara  adalah keharusan  bagi 
pemerintah  untuk  menjamin terlaksananya penyelenggaraan
pemilihan umum sesuai dengan  jadwal  ketatanegaraan  yang 
telah  ditentukan. Sesuai  dengan 
prinsip  kedaulatan  rakyat 
di  mana rakyatlah yang berdaulat,
maka semua aspek penyelenggaraan 
pemilihan  umum  itu 
sendiri  pun  harus 
juga dikembalikan  kepada  rakyat 
untuk  menentukannya. Adalah  pelanggaran 
terhadap  hak-hak  asasi 
apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum,  memperlambat 
penyelenggaraan  pemilihan
umum  tanpa  persetujuan 
para  wakil  rakyat, 
ataupun tidak  melakukan  apa-apa 
sehingga  pemilihan  umum tidak terselenggara sebagaimana
mestinya. 
Dalam sistem
demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan merupakan faktor yang
sangat penting.  Di  satu 
pihak,  suatu  pemerintahan 
haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi,
sehingga  dapat  dikatakan 
memiliki  legalitas.  Di 
lain pihak,  pemerintahan  itu 
juga  harus  legitimate, 
dalam arti  bahwa  di 
samping  legal,  ia 
juga  harus  dipercaya. Tentu  akan 
timbul  keragu-raguan,  apabila 
suatu   pemerintah menyatakan diri
sebagai berasal dari rakyat, 
sehingga dapat
disebut sebagai pemerintahan demokrasi, padahal 
pembentukannya  tidak  didasarkan 
hasil pemilihan  umum.  Artinya, 
setiap  pemerintahan  demokratis yang mengaku berasal dari rakyat,
memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang  penting 
atau  pilar  yang 
pokok  dalam  sistem demokrasi modern. Sejalan  dengan 
hal  tersebut,  International 
Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun  1965 
memberikan  definisi  tentang 
suatu pemerintahan  dengan  perwakilan 
atau  representative government
sebagai '''a government deriving its power and 
authority  are  exercised 
through  representative
freely  chosen  and 
responsible  to  them". 
Kemudian, untuk adanya suatu ”Representative government under the Rule
of Law”, konferensi itu menetapkan salah satu syarat  adanya 
pemilihan  yang  bebas. 
Oleh  karena itulah,  maka 
dapat  dikatakan  bahwa 
pemilihan  umum merupakan  syarat 
yang  mutlak  bagi 
negara  demokrasi, yaitu untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. 
Di  samping 
pemilihan  umum,  metode 
penyaluran pendapat  umum  rakyat 
juga  dapat  dilakukan 
dengan referendum  dan  plebisit. 
Namun  yang  dikenal 
di Indonesia hanya referendum. Misalnya, untuk mengatasi jangan sampai
UUD 1945 diubah dengan mudah, Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah menetapkan
Ketetapan MPR  tentang  Referendum, 
yaitu  TAP  MPR 
Nomor IV/MPR/1983.157 Meskipun kemudian dengan Ketetapan MPR  Nomor 
VIII/MPR/1998,  Ketetapan  Nomor IV/MPR/1983 ini dicabut kembali, tetapi
menarik untuk dicatat  bahwa  lembaga 
referendum  itu  pernah 
dikenal dalam sistim ketatanegaraan Indonesia, meskipun hal itu belum
pernah dipraktikkan. Pasal  2  Ketetapan 
MPR  No.  IV/MPR/1983 
itu menentukan,  ”Apabila  MPR 
berkehendak  untuk merubah  UUD 
1945,  terlebih  dahulu 
harus  meminta pendapat rakyat
melalui referendum”.158 Pasal 3 menentukan, 
”Referendum  dilaksanakan  oleh 
Presiden/Mandataris  MPR  yang 
diatur  dengan  undang-undang”.  Sedangkan 
dalam  Pasal  4 
Ketetapan  ini dinyatakan, ”Dengan
ditetapkannya Ketetapan tentang Referendum 
ini,  maka  ketentuan 
Undang-Undang mengenai 
pengangkatan  1/3  anggota 
Majelis  ditinjau kembali”. Dari kutipan
tersebut dapat kita ketahui bahwa ketentuan 
operasional  mengenai  penyelenggaraan referendum  itu 
sendiri  masih  harus 
dielaborasi  dalam undang-undang.  Akan 
tetapi,  secara  umum 
dapat  diketahui  bahwa 
tujuan  referendum  itu 
adalah  untuk meminta pendapat
rakyat apakah rakyat menyetujui atau tidak menyetujui kehendak MPR untuk
mengubah UUD 1945.  
Dengan  demikian, 
penyelenggaraan  referendum
tersebut harus dilakukan mendahului pelaksanaan upaya oleh  MPR 
dalam  mewujudkan  kehendaknya 
untuk mengubah  UUD  1945 
itu.  Artinya,  sebelum 
usul perubahan UUD 1945 itu diajukan sesuai dengan ketentuan  UUD 
1945,  maka  kehendak 
atau  rencana  untuk mengajukan  usul 
perubahan  itu  haruslah 
terlebih  dulu diajukan  kepada 
rakyat  melalui  referendum 
untuk dimintakan  pendapat  apakah 
rakyat  setuju  atau 
tidak. Jikalau  mayoritas  rakyat 
memang  menyatakan  setuju, barulah  usul 
perubahan  UUD  1945 
itu  diajukan  sesuai dengan 
ketentuan  UUD  1945 
mengenai  mekanisme perubahan UUD.
2.  Tujuan Pemilihan Umum 
 Dari uraian di atas, dapat dikatakan
bahwa  tujuan penyelenggaraan  pemilihan 
umum  itu  ada 
4  (empat), yaitu:
a.      
untuk  memungkinkan  terjadinya 
peralihan kepemimpinan 
pemerintahan  secara  tertib 
dan damai; 
b.     
untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang  akan 
mewakili  kepentingan  rakyat 
di  lembaga perwakilan; 
c.      
untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan 
d.     
untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. 
Seperti
dimaklumi, kemampuan seseorang bersifat terbatas. Di samping itu, jabatan pada
dasarnya merupakan  amanah  yang 
berisi  beban  tanggung 
jawab,  bukan hak  yang 
harus  dinikmati.  Oleh 
karena  itu,  seseorang tidak boleh duduk di suatu jabatan tanpa
ada kepastian batasnya  untuk  dilakukannya 
pergantian.  Tanpa  siklus kekuasaan yang dinamis, kekuasaan itu
dapat mengeras menjadi  sumber  malapetaka. 
Sebab,  dalam  setiap jabatan,  dalam 
dirinya  selalu  ada 
kekuasaan  yang cenderung  berkembang 
menjadi  sumber  kesewenangwenangan bagi siapa saja yang
memegangnya. Untuk itupergantian  kepemimpinan  harus 
dipandang  sebagai sesuatu  yang 
niscaya  untuk  memelihara 
amanah  yang terdapat dalam setiap
kekuasaan itu sendiri.  Dalam Pemilu,
yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen,  tetapi  juga 
para  pemimpin  pemerintahan 
yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para  wakil 
rakyat  itu  ada 
yang  duduk  di 
Dewan Perwakilan  Rakyat,  ada 
yang  duduk  di 
Dewan Perwakilan  Daerah,  dan 
ada  pula  yang 
akan  duduk  di Dewan 
Perwakilan  Rakyat  Daerah, 
baik  di  tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten
dan kota. Sedangkan  di  cabang 
kekuasaan  pemerintahan  eksekutif, 
para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah  Presiden 
dan  Wakil  Presiden, 
Gubernur  dan  Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota danWakil  Walikota.  Dengan 
adanya  pemilihan  umum 
yang teratur  dan  berkala, 
maka  pergantian  para 
pejabat  dimaksud  juga 
dapat  terselenggara  secara 
teratur  dan berkala. 
Oleh karena itu
adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lembaga
pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Pergantian
pejabat di negara-negara otoritarian dan totaliter berbeda dengan yang
dipraktikkan di negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter dan
otoritarian, pergantian pejabat ditentukan oleh sekelompok orang saja. Kelompok
orang yang menentukan itu bersifat oligarkis dan berpuncak di tangan satu
orang. Sementara di lingkungan 
negara-negara  yang  menganut 
paham  demokrasi, praktik yang
demikian itu tidak dapat diterapkan. 
Di  negara-negara 
demokrasi,  pergantian  pejabat pemerintahan  eksekutif 
dan  legislatif  ditentukan 
secara langsung  oleh  rakyat, 
yaitu  melalui  pemilihan 
umum (general election) yang diselenggarakan secara periodik. Maka  pemilihan 
umum  (general  election) 
juga disebut  bertujuan  untuk 
memungkinkan  terjadinya
peralihan  pemerintahan  dan 
pergantian  pejabat  negara yang 
diangkat  melalui  pemilihan 
(elected  public officials).  Dalam 
hal  tersebut  di 
atas,  yang  dimaksud dengan memungkinkan di sini tidak
berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum, secara mutlak harus
berakibat  terjadinya  pergantian 
pemerintahan  atau pejabat  negara. 
Mungkin  saja  terjadi, 
pemerintahan suatu  partai  politik 
dalam  sistem  parlementer 
memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang
menjadi  Presiden  seperti 
di  Amerika  Serikat 
atau Indonesia dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud
”memungkinkan” di sini adalah bahwa pemilihan umum itu  harus 
membuka  kesempatan  sama 
untuk  menang atau  kalah 
bagi  setiap  peserta 
pemilihan  umum  itu. Pemilihan umum yang demikian itu hanya
dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil). 
Tujuan  ketiga 
dan  keempat  pemilihan 
umum  itu adalah juga untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan 
hak  asasi  warga 
negara.  Untuk menentukan  jalannya 
negara,  rakyat  sendirilah 
yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan
duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya
pemerintahan dan  fungsi-fungsi  negara 
dengan  benar  menurut 
UUD adalah hak rakyat yang sangat fundamental. Oleh karena itu,  penyelenggaraan  pemilihan 
umum,  di  samping merupakan  perwujudan 
kedaulatan  rakyat,  juga merupakan  sarana 
pelaksanaan  hak-hak  asasi  warga negara 
sendiri.  Untuk  itulah, 
diperlukan  pemilihan umum guna
memilih para wakil rakyat itu secara periodik. Demikian pula di bidang
eksekutif, rakyat sendirilah yang 
harus  memilih  Presiden, 
Gubernur,  Bupati,  dan Walikota untuk memimpin jalannya
pemerintahan, baik di  tingkat  pusat, 
di  tingkat  provinsi, 
maupun  di  tingkat kabupaten/kota.
Di  samping 
itu,  pemilihan  umum 
itu  juga  penting bagi 
para  wakil  rakyat 
sendiri  ataupun  para 
pejabat pemerintahan  untuk  mengukur 
tingkat  dukungan  dan kepercayaan masyarakat kepadanya.
Demikian pula bagi kelompok  warga  negara 
yang  tergabung  dalam 
suatu organisasi  partai  politik, 
pemilihan  umum  itu 
juga penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan  dan 
kepercayaan  rakyat  kepada 
kelompok  atau partai  politik 
yang  bersangkutan.  Melalui 
analisis mengenai  tingkat  kepercayaan 
dan  dukungan  itu, tergambar  pula 
mengenai  aspirasi  rakyat 
yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi
dalam negara Republik Indonesia. 
Dengan  demikian, 
dapat  dikatakan  bahwa 
pemilihan  umum  itu 
tidak  saja  penting 
bagi  warga  negara, partai  politik, 
tapi  juga  pejabat 
penyelenggara  negara. Bagi  penyelenggara 
negara  yang  diangkat 
melalui pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu  mendapat 
dukungan  yang  sebenarnya 
dari  rakyat. Sebaliknya,  jika 
pemerintahan  tersebut  dibentuk 
dari hasil pemilihan umum yang tidak jujur maka dukungan rakyat itu
hanya bersifat semu. 
C.    SISTEM PEMILIHAN UMUM 
1.   Sistem Pemilu Mekanis dan Organis 
 Oleh 
karena  pemilihan  umum 
adalah  salah  satu cara 
untuk  menentukan  wakil-wakil 
rakyat  yang  akan duduk 
dalam  Badan  Perwakilan 
Rakyat,  maka  dengan sendirinya  terdapat 
berbagai  sistem  pemilihan 
umum. Sistem  pemilihan  umum 
berbeda  satu  sama 
lain,  tergantung  dari 
sudut  mana  hal 
itu  dilihat.  Dari 
sudut kepentingan  rakyat,  apakah 
rakyat  dipandang  sebagai individu yang bebas untuk menentukan
pilihannya, dan sekaligus 
mencalonkan  dirinya  sebagai 
calon  wakil rakyat,  atau 
apakah  rakyat  hanya 
dipandang  sebagai anggota  kelompok 
yang  sama  sekali 
tidak  berhakmenentukan  siapa 
yang  akan  menjadi 
wakilnya  di lembaga perwakilan
rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua
macam, yaitu antara (i) sistem 
pemilihan  mekanis,  dan 
(ii)  sistem  pemilihan organis.  Sistem 
pemilihan  mekanis  mencerminkan pandangan  yang 
bersifat  mekanis  yang 
melihat  rakyat sebagai  massa individu-individu yang sama. Baik
aliran liberalisme,  sosialisme,  dan 
komunisme  sama-sama mendasarkan
diri pada pandangan mekanis.  
Liberalisme  lebih 
mengutamakan  individu  sebagai kesatuan  otonom 
dan  memandang  masyarakat 
sebagai suatu  kompleks  hubungan-hubungan  antar 
individu yang  bersifat  kontraktual, 
sedangkan  pandangan  sosialisme 
dan  khususnya  komunisme, 
lebih  mengutamakan totalitas
kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan 
individu.  Namun,  dalam 
semua  aliran  pemikiran 
di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang  bersifat 
aktif  dan  memandang 
korps  pemilih sebagai  massa 
individu-individu,  yang  masing-masing memiliki  satu 
suara  dalam  setiap 
pemilihan,  yaitu suaranya
masing-masing secara sendiri-sendiri. 
Sementara  itu, 
dalam  sistem  pemilihan 
yang bersifat  organis,  pandangan 
organis  menempatkan rakyat  sebagai 
sejumlah  individu-individu  yang 
hidup bersama  dalam  berbagai 
macam  persekutuan  hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga,
keluarga), fungsi tertentu 
(ekonomi,  industri),  lapisan-lapisan  sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan
lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat
dilihat  sebagai  suatu 
organisme  yang  terdiri 
atas  organorgan  yang 
mempunyai  kedudukan  dan 
fungsi  tertentu dalam totalitas
organisme, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan  hidup. 
Dengan  pandangan  demikian, 
persekutuan-persekutuan 
hidup  itulah  yang 
diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan  perkataan 
lain, 
persekutuan-persekutuan  itulah yang  mempunyai 
hak  pilih  untuk 
mengutus  wakil-wakilnya kepada
badan-badan perwakilan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan
seperti yang sudah diuraikan di atas, pemilihan organis ini dapat
dihubungkan  dengan  sistem 
perwakilan  fungsional
(function  representation)  yang 
biasa  dikenal  dalam sistem 
parlemen  dua  kamar, 
seperti  di  Inggris 
dan Irlandia. Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords  yang 
akan  duduk  di 
House  of  Lords 
Inggris, didasarkan  atas  pandangan 
yang  bersifat  organis tersebut. Dalam sistem pemilihan
mekanis, partai-partai politiklah 
yang  mengorganisasikan  pemilih-pemilih  dan memimpin 
pemilih  berdasarkan  sistem 
dua-partai  atau pun multi-partai
menurut paham liberalisme dan sosialisme, 
ataupun  berdasarkan  sistem 
satu-partai  menurut paham
komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis,  partai-partai 
politik  tidak  perlu 
dikembangkan, karena 
pemilihan  diselenggarakan  dan 
dipimpin  oleh tiap-tiap  persekutuan 
hidup  itu  sendiri, 
yaitu  melalui mekanisme yang
berlaku dalam lingkungannya sendiri. 
Menurut  sistem 
mekanis,  lembaga  perwakilan rakyat  merupakan 
lembaga  perwakilan  kepentingan umum  rakyat 
seluruhnya.  Sedangkan,  menurut 
sistem yang  kedua  (organis), 
lembaga  perwakilan  rakyat 
itu mencerminkan  perwakilan  kepentingan-kepentingan khusus  persekutuan-persekutuan  hidup 
itu  masing-masing.  Dalam 
bentuknya  yang  paling 
ekstrim,  sistem yang  pertama 
(mekanis)  menghasilkan  parlemen, 
sedangkan yang kedua (organis) menghasilkan dewan korporasi  (korporatif). 
Kedua  sistem  ini 
sering  dikombinasikan  dalam 
struktur  parlemen  dua-kamar 
(bikameral),  yaitu  di 
negara-negara  yang  mengenal 
sistem parlemen bikameral.
Seperti yang
sudah dikemukakan di atas, misalnya, parlemen 
Inggris  dan  Irlandia 
yang  bersifat  bikameral mencerminkan  hal 
itu,  yaitu  pada 
sifat  perwakilan majelis
tingginya. Di Inggris hal itu terlihat pada House of  Lords, 
dan  di  Irlandia 
pada  Senatnya  yang 
para anggotanya  semua  dipilih 
tidak  melalui  sistem 
yang mekanis, tetapi dengan sistem organis. 
2.   Sistem Distrik dan Proporsional 
 Sistem yang lebih umum, dan karena itu perlu
diuraikan lebih rinci, adalah sistem pemilihan yang bersifat mekanis. Sistem
ini biasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu: 
1)     
Perwakilan  distrik/mayoritas  (single 
member  constituencies); dan 
2)     
Sistem  perwakilan  berimbang 
(proportional  representation). 
Sistem  yang 
pertama,  yaitu  sistem 
distrik,  biasa dinamakan  juga 
sebagai  sistem  single 
member  constituencies162 atau
sistem the winner’s take-all. Dinamakan 
demikian,  karena  wilayah 
negara  dibagi  dalam 
distrikdistrik  pemilihan  atau 
daerah-daerah  pemilihan  (dapil) yang 
jumlahnya  sama  dengan 
jumlah  anggota  lembaga perwakilan  rakyat 
yang  diperlukan  untuk 
dipilih. Misalnya,  jumlah  anggota 
Dewan  Perwakilan  Rakyat, ditentukan  500 
orang,  maka  wilayah 
negara  dibagi dalam  500 
distrik  atau  daerah 
pemilihan  (dapil)  atau constituencies.  Artinya, 
setiap  distrik  atau 
daerah pemilihan  akan  diwakili 
oleh  hanya  satu 
orang  wakil yang akan duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu 
dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies. 
Sebagian  sarjana 
juga  menamakan  sistem 
ini sebagai  sistem  mayoritas, 
karena  yang  dipilih 
sebagai wakil  rakyat  dari 
suatu  daerah  ditentukan 
oleh  siapa yang  memperoleh 
suara  yang  terbanyak 
atau  suara mayoritas  untuk 
daerah  itu,  sekalipun 
kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak).
Misalnya,  di  daerah 
pemilihan  1,  calon 
A  memperoleh suara  100.000, 
B  memperoleh  suara 
99.999,  C memperoleh  100.001, 
maka  yang  dinyatakan 
terpilih menjadi  wakil  dari 
daerah  pemilihan  1 
untuk  menjadi anggota  lembaga 
perwakilan  rakyat  adalah 
C.  Sebab, setiap  distrik 
hanya  diwakili  oleh 
satu  orang  yang memperoleh suara yang paling banyak,
meskipun bukan mayoritas mutlak. 
Kelebihan sistem
ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah warga
daerah itu sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang
pasti  bahwa  orang 
itu  dikenal  secara 
baik  oleh  warga daerah yang bersangkutan. Dengan
demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon harus erat dan
saling  mengenal dengan baik. Bagi para
pemilih tentunya calon yang paling mereka kenal sajalah yang akan dipilih.
Sebaliknya, karena calon yang dipilih adalah orang yang sudah  dikenal 
dengan  baik,  tentu 
diharapkan  bahwa yang
bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan-keadaan  yang 
perlu  diperjuangkannya  untuk 
kepen-tingan rakyat daerah yang diwakilinya itu. 
Sedangkan  pada 
sistem  yang  kedua, 
yaitu  sistim perwakilan  berimbang 
atau  perwakilan  proporsionil, persentase kursi di lembaga
perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan
persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Umpamanya,
jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum  tercatat 
ada  1.000.000  (satu 
juta)  orang. Misalnya,  jumlah 
kursi  di  lembaga 
perwakilan  rakyat ditentukan  100 
kursi,  berarti  untuk 
satu  orang  wakil rakyat 
dibutuhkan  suara  10.000. 
Pembagian  kursi  di Badan 
Perwakilan  Rakyat  tersebut 
tergantung  kepada berapa  jumlah 
suara  yang  didapat 
setiap  partai  politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem
ini dipakai, maka dalam bentuk aslinya tidak perlu lagi membagikan korps
pemilih  atas  jumlah 
daerah  pemilihan.  Korps 
pemilih boleh  dibagi  atas 
sejumlah  daerah  pemilihan 
dengan ketentuan  bahwa  tiap-tiap 
daerah  pemilihan  (dapil) disediakan  beberapa 
kursi  sesuai  dengan 
jumlah  penduduknya. 
Meskipun  jumlah 
kursi  untuk  suatu 
pemilihan ditentukan  sesuai  dengan 
jumlah  penduduk  yang 
boleh mengikuti pemilihan, dan ditentukan pula bahwa setiap kursi  membutuhkan  suara 
dalam  jumlah  tertentu, namun  apabila 
ternyata  tidak  semua 
penduduk  memberikan  suara 
atau  ada  sebagian 
yang  tidak  sah, 
maka persentase untuk satu kursi juga menjadi berubah. Oleh   karena 
itu,  sistem  proporsional 
ini  dikenal  agak 
rumit cara  perhitungannya.  Bahkan, 
sistem  proporsional  ini dapat 
dilaksanakan  dengan  ratusan 
variasi  yang  berbeda-beda. 
Namun,  secara  garis 
besar,  ada  dua 
metode utama  yang  biasa 
dikenal  sebagai  variasi, 
yaitu  metode single  transferable 
vote  dengan  hare 
system,  dan metode list-system. 
Pada  metode 
pertama,  Single  Transferable 
Vote dengan  Hare System, pemilih
diberi kesempatan untuk memilih 
pilihan  pertama,  kedua, 
dan  seterusnya  dari daerah 
pemilihan  yang  bersangkutan. 
Jumlah perimbangan  suara  yang 
diperlukan  untuk  pemilih ditentukan,  dan 
segera  jumlah  keutamaan 
pertama dipenuhi,  dan  apabila 
ada  sisa  suara, 
maka  kelebihan suara  itu 
dapat  dipindahkan  kepada 
calon  pada  urutan berikutnya,  dan 
demikian  seterusnya.  Dengan 
kemungkinan penggabungan suara itu, maka partai politik yang kecil  dimungkinkan 
mendapat  kursi  di 
lebaga  perwakilan rakyat,
meskipun semula tidak mencapai jumlah imbangan 
suara  yang  ditentukan. 
Konsekuensi  dari sistem  ini 
adalah  bahwa  penghitungan 
suara  agak berbelit-belit dan
membutuhkan kecermatan yang seksama. Sedangkan pada metode list system, para
pemilih diminta  memilih  diantara 
daftar-daftar  calon  yang 
berisi sebanyak  mungkin  nama-nama 
wakil  rakyat  yang 
akan dipilih dalam pemilihan umum. 
Partai  politik 
yang  kecil-kecil  biasanya 
sangat menyukai  sistim  pemilihan 
proporsionil,  karena dimungkinkan
adanya  penggabungan  suara. 
Jika  partai politik  A, 
berdasarkan  jumlah  imbangan 
suara  hanya akan  mempunyai 
satu  orang  wakil 
yang  duduk  di lembaga 
perwakilan,  tetapi  karena 
metode  perhitungan
berdasarkan  hare  system, 
dapat  saja  memperoleh 
2  (dua) kursi lebih banyak.
Sebaliknya, sistim proporsional ini 
kurang  disenangi  oleh 
partai  politik  yang 
besar, karena  perolehannya  dapat 
terancam  oleh  partai-partai yang kecil. 
Namun,  terlepas 
dari  perbedaan  antara 
metode single  transferable  vote 
dengan  hare  system 
dan  list system,  yang 
jelas  sistem  pemilihan 
perwakilan berimbang  atau  perwakilan 
proporsional  ini  diakui mempunyai  banyak 
kelebihan  dibandingkan  dengan sistim distrik. Misalnya, tidak adanya
suara pemilih yang hilang dan diabaikan dalam mekanisme penentuan wakil rakyat
yang akan terpilih. Akibat dari hare system, maka memang  tidak 
ada  suara  yang 
hilang,  sehingga  olehkarenanya sistem ini sering dikatakan
lebih demokratis, dan  mengakibatkan  lembaga 
perwakilan  rakyat  cenderung 
bersifat  lebih  nasional 
daripada  kedaerahan. Namun,
sistem ini banyak juga kelemahannya, misalnya cara  perhitungannya  agak 
rumit,  dan  cenderung 
mengutamakan  peranan  partai 
politik  daripada  para 
wakil rakyat secara langsung. Pendek kata, setiap sistem selalu
mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempurna
di dunia ini. Bahkan, negara-negara yang tadinya  menganut 
sistim  distrik  cenderung 
berusaha  untuk mengadopsi  sistim 
proporsional,  tetapi  negara-negara yang  biasa 
dengan  sistim  proporsional 
dan  banyak mengalami  sendiri 
kekurangan-kekurangannya,  cenderung  berusaha 
untuk  menerapkan  sistim 
distrik  yang dianggapnya  lebih 
baik.  Semua  pilihan 
itu  tergantung tingkat kebutuhan
riel yang dihadapi setiap  masyarakat
yang  ingin  memperkembangkan  tradisi 
dan  sistem demokrasi yang
diterapkan di masing-masing negara. 
D.   PENYELENGGARA DAN SENGKETA HASIL PEMILU 
1.   Lembaga Penyelenggara 
Siapakah  yang 
seharusnya  menjadi  penyelenggara pemilihan  umum? 
Pasal  22E  ayat 
(1)  UUD  1945 
telah menentukan  bahwa  ”Pemilihan 
umum  dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap  lima 
tahun  sekali”.  Dalam 
Pasal  22E  ayat  5
ditentukan pula bahwa ”Pemilihan umum diselenggarakan  oleh 
suatu  komisi  pemilihan 
umum  yang  bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Oleh
sebab itu, menurut UUD 1945 penyelenggara pemilihan umum itu haruslah suatu
komisi yang bersifat (i) nasional, (ii) tetap, dan (iii) mandiri atau
independen. Mengapa  harus  independen? 
Jawabnya  jelas, karena  penyelenggara 
pemilu  itu  harus 
bersifat  netral dan  tidak 
boleh  memihak.  Komisi 
pemilihan  umum  itu tidak boleh dikendalikan oleh partai
politik ataupun oleh pejabat  negara  yang 
mencerminkan  kepentingan  partai politik atau peserta atau calon
peserta pemilihan umum. Peserta 
pemilu  itu  sendiri 
dapat  terdiri  atas 
(i)  partai politik,  beserta 
para  anggotanya  yang 
dapat  menjadi calon  dalam 
rangka  pemilihan  umum, 
(ii)  calon  atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (iii)
calon atau anggota Dewan Perwakilan Daerah, (iv) calon atau anggota DPRD, (v)
calon atau Presiden atau Wakil Presiden, (vi) calon  atau 
Gubernur  atau  Wakil 
Gubernur,  (vii)  calon atau Bupati atau Wakil Bupati, (viii)
calon atau Walikota atau Wakil Walikota. Kedelapan pihak yang terdaftar di
atas  mempunyai  kepentingan 
langsung  atau  tidak langsung  dengan 
keputusan-keputusan  yang  akan 
diambil  oleh  Komisi 
Pemilihan  Umum  sebagai 
penyelenggara pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus terbebas dari
kemungkinan pengaruh mereka itu. 
Di  Inggris, 
komisi  semacam  ini 
dinamakan  The Electoral  Commission 
dengan  jumlah  anggota 
antara  5 (lima) sampai dengan 9
(sembilan) orang Commissioner yang ditetapkan oleh Ratu atas usul House of
Commons untuk masa jabatan 10 (sepuluh) tahun.164 Mereka dapat
diberhentikan  dari  jabatannya 
oleh  Ratu  juga 
atas  usul House  of 
Commons.  Komisi  ini 
diberi  tanggung  jawabsebagai penyelenggara semua kegiatan
pemilihan umum dan  referendum  yang 
diselenggarakan  di  Inggris, 
baik yang  bersifat  lokal, 
regional,  maupun  yang 
bersifat nasional.  Demikian  pula, 
pembagian  kursi  ataupun redistribusi kursi pemilihan
legislatif, pendaftaran partai politik, 
pengaturan  mengenai  pendapatan 
dan  pengeluaran partai, kegiatan
kampanye dan iklan partai politik 
di  media  massa 
dan  media  elektronika 
lainnya, semuanya  menjadi  tanggung 
jawab  dari  Electoral Commission. 
2.  Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu 
 Hasil 
pemilihan  umum  berupa 
penetapan  final hasil  penghitungan 
suara  yang  diikuti 
oleh  pembagian kursi yang
diperebutkan, yang diumumkan secara resmi oleh lembaga penyelenggara pemilihan
umum seringkali tidak  memuaskan  peserta 
pemilihan  umum,  yang 
tidak berhasil  tampil  sebagai 
pemenang.  Kadang-kadang terjadi
perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan umum
dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian, baik karena kesalahan teknis atau 
kelemahan yang  bersifat  administratif 
dalam  perhitungan  ataupun disebabkan  oleh 
faktor  human  error. 
Jika  perbedaan pendapat yang
demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian 
bagi  peserta  pemilihan 
umum,  maka  peserta pemilihan  yang 
dirugikan  itu  dapat 
menempuh  upaya hukum  dengan 
mengajukan  permohonan  perkara 
perselisihan  hasil  pemilihan 
umum  ke  Mahkamah 
Konstitusi.
Jenis  perselisihan 
atau  sengketa  mengenai 
hasil pemilihan  umum  ini 
tentu  harus  dibedakan 
dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis
pelaksanaan pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga
harus pula dibedakan dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan
subjeksubjek hukum dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Siapa  saja 
yang  terbukti  bersalah 
melanggar  hukum pidana,  diancam 
dengan  pidana  dan 
harus  dipertanggungjawabkan  secara 
pidana  pula  menurut 
ketentuan yang  berlaku  di 
bidang  peradilan  pidana. 
Misalnya,  A mencuri surat suara,
maka hal itu tergolong pelanggaran hukum 
pidana  yang  diadili 
menurut  prosedur  pidana. Sedangkan B melanggar jadwal kampanye
yang menjadi hak  calon  lain, 
maka  pelanggaran  semacam 
ini  harus diselesaikan  secara 
administratif  oleh  lembaga 
penyelenggara  pemilihan  umum 
yang  bertanggung  jawab 
di bidang itu. 
Demikian  pula 
jika  C  mengajukan 
permohonan perkara 
perselisihan  hasil  pemilu 
ke  Mahkamah Konstitusi. Namun di
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, C berkolusi dengan pejabat Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan memalsukan bukti-bukti di  persidangan 
yang  tidak  dapat 
dibantah  oleh  pejabat Komisi  Pemilihan 
Umum  (KPU)  Pusat 
dalam  persidangan. Di kemudian
hari, terbukti bahwa data-data yang diajukan oleh KPU Daerah  itu palsu, maka hal tersebut sepenuhnya
merupakan perkara pidana pemalsuan yang merugikan  semua 
pihak  dan  harus 
dipertanggungjawabkan  secara  pidana. 
Akan  tetapi,  sepanjang 
menyangkut  hasil  pemilihan 
umum  yang  sudah 
diputus final  dan  mengikat 
oleh  Mahkamah  Konstitusi 
dalam persidangan  yang  terbuka 
untuk  umum,  persoalan tindak pidana dimaksud tidak lagi
ada kaitannya dengan hasil  pemilihan  umum.  
Dalam  persidangan 
di  Mahkamah Konstitusi, semua
pihak, termasuk apalagi kepada pihak KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu
dan pihak-pihak yang kepentingannya terkait lainnya, sudah diberi kesempatan
yang cukup dan leluasa untuk membantah 
atau  menolak  bukti-bukti 
yang  diajukan  oleh pihak 
pemohon  perkara,  tetapi 
karena  ternyata  buktibukti 
dimaksud  tidak  terbantahkan, 
maka  perkara  perselisihan hasil pemilu itu sudah diputus
final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Biasanya,  hal-hal 
yang  berkenaan  dengan 
kualitas bukti yang dianggap tidak benar itu justru datang belakangan  oleh 
pihak  penyelenggara  pemilihan 
umum.  Akan tetapi,  roda 
penyelenggaraan  negara  dan 
pemerintahan tidak boleh digantungkan kepada kealpaan atau
kelalaianpenyelenggara pemilu  sebagai
satu kesatuan institusi penyelenggara pemilihan umum di seluruh Indonesia. KPU
adalah  satu  institusi. 
Perkara  perselisihan  hasil 
pemilu adalah perkara formal yang membutuhkan teknik-teknik pembuktian
yang juga bersifat formal dan dengan jadwal yang pasti. Kepastian  hukum 
sangat diutamakan dalam hal  ini.  Sikap 
mengutamakan  keadilan  bagi 
satu  orang tidak  mungkin 
dibenarkan,  apabila  hal 
itu  justru  akan menimbulkan  ketidakpastian  hukum 
(rechtszekerheid). 
Sebab, dalam
jenis perkara perselisihan hasil pemilihan umum, tanpa adanya kepastian hukum
(rechtszekerheid) yang  tegas,  niscaya 
dapat  timbul  ketidakadilan 
dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan negara dan karena itu dapat
menimbulkan ketidakadilan bagi semua warga negara. Tentu  tidak 
semua  negara  memiliki 
Mahkamah Konstitusi ataupun mekanisme penyelesaian perselisihan hasil
pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi. Di negara-negara  yang 
tidak  memiliki  lembaga 
seperti  ini, biasanya
perkara-perkara pemilu itu langsung ditangani oleh  Mahkamah 
Agung.  Di  Amerika 
Serikat,  perkara seperti ini juga
ditangani oleh Mahkamah Agung negara bagian, 
dan  baru  setelah 
itu  ditangani  oleh 
Mahkamah Agung  Federal.  Tetapi, 
di  Brazil,  peradilan 
pemilu  ini dilembagakan  secara 
tersendiri,  yaitu  untuk 
menangani semua  aspek  perkara 
hukum  yang  terkait 
dengan pemilihan umum. Dengan 
ada  mekanisme  peradilan 
terhadap sengketa  hasil  pemilihan 
umum  ini,  maka 
setiap perbedaan  pendapat  mengenai 
hasil  pemilihan  umum tidak 
boleh  dikembangkan  menjadi 
sumber  konflik politik  atau 
bahkan  menjadi  konflik 
sosial  yang  diselesaikan di jalanan. Penyelesaian
perbedaan mengenai hasil 
perhitungan  suara  pemilihan 
umum  menyangkut pertarungan  kepentingan 
politik  antar  kelompok 
warga negara  sudah  seharusnya 
diselesaikan  melalui  jalan hukum 
dan  konstitusi.  Dengan 
kewenangannya  untuk mengadili dan
menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat dikatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi diberi  tanggung  jawab 
untuk  menyediakan  jalan 
konstitusi bagi para pihak yang bersengketa, yaitu antara pihak  penyelenggara 
pemilihan  umum  dan 
pihak  peserta pemilihan umum.